Minggu, 02 Mei 2010

Kebijakan Kriminal Dalam Tindak Pidana Money Laundering

           Sering kita mendengar dan menyaksikan baik di media masa maupun di media elektronik banyak sekali kegiatan-kegiatan yang dilakukan baik oleh perorangan maupun kelompok yang berhubungan dengan tindak pidana pencucian uang (money laundering) ini.  Masih segar dalam ingatan kita kasus yang menyeret nama Eddy Tansil yang merupakan terpidana korupsi 1,3 triliyun rupiah yang telah diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dan hingga kini masih menjadi buronan karena melarikan diri.  Bahkan sampai saat ini pun Anggoro  Widjojo Direktur PT. Masaro Radiokom yang menjadi tersangka kasus pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan entah dimana rimba-nya.
           Sangat tragis sekali bagi Negara kita, jangankan untuk menghukum terpidana-nya untuk mengembalikan keuangan Negara yang telah dikorup itu-pun tidak mungkin dilakukan.  Negara hanya bisa “gigit jari”, karena ternyata asset yang dikorup tersebut tidak bisa ditemukan kemana rimbanya.  Itulah yang seringkali terjadi pada kasus seperti korupsi, kolusi/penyuapan dan tindak pidana ekonomi lainnya, dimana Negara dirugikan (dalam pengertian luas).  Negara tidak bisa lagi  melacak dimana uang-uang haram yang dihasilkan dari kejahatan tersebut berada, karena pelakunya telah terlebih dahulu menyembuyikannya dengan berbagai cara, salah satunya yaitu melalui proses money laundering (pencucian uang). Pencucian uang (Money Laundering) adalah suatu proses dimana uang-uang yang berasal dari hasil kejahatan kemudian “dicuci” dengan melalui berbagai transaksi yang menyesatkan sehingga jejak pelacakannya menjadi hilang serta sulit untuk ditemukan.
Kejahatan pencucian uang ini sebenarnya sudah sejak lama terjadi, namun istilah money laundering baru muncul ketika Al Capone, salah seorang mafia besar di Amerika Serikat pada tahun 1920-an memulai bisnis Laundromats (tempat cuci otomatis).  Bisnis ini ia lakukan karena sebagai kedok untuk mempercepat proses pencucian uang yang mereka peroleh dari hasil kejahatan seperti penjualan obat-obat terlarang, pemerasan, pelacuran, perjudian dan penyelundupan minuman keras sehingga seolah-olah terlihat sebagai uang yang halal.
Dewasa ini bila ditinjau dari segi aktifitasnya, Money Laundering telah berkembang sangat pesat dengan menggunakan berbagai sarana-prasarana dan batas-batas Negara sebagai pelindungnya, dimana semua  hambatan tersebut dapat diatasi, karena  kecanggihan  teknologi komunikasi salah satu contohnya  adalah melalui  jaringan   internet.   Sehingga tidak mengherankan apabila aparat penegak hukum sangat sulit dalam menjangkau dan menyelesaikan kejahatan ini.  Proses atau modus operandi pencucian uang (money laundering) umumnya bervariasi sesuai dengan tingkat keahlian para pelakunya.  Semakin lihay pelakunya, maka semakin sulit untuk melacak terjadinya praktik money laundering ini.
Secara umum ada tiga tahap yang biasa atau sering dilakukan dalam kejahatan pencucian uang ini yaitu:
1.       Placement (penempatan) adalah suatu upaya penempatan uang hasil kejahatan yang diperoleh tersebut kedalam suatu system jasa perbankan tertentu (ex:bank) sehingga uang tersebut tidak menimbulkan kecurigaan;
2.       Layering (pelapisan) adalah suatu upaya yang dilakukan mentransfer uang hasil kejahatan tersebut kebeberapa rekening tertentu yang bisannya lokasinya berbeda-beda sehingga menyamarkan bahwa uang tersebut adalah hasil kejahatan;
3.       Integration (intergasi) adalah suatu upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari kejahatan yang telah masuk dalam sistem perbankan baik melalui Placement atau-pun Layering sehingga seolah-olah telah menjadi harta kekayaan yang halal.
             Mengingat semakin luasnya teknik-teknik yang dilakukan dalam rangka kejahatan pencucian uang (money laundering) serta dampaknya yang begitu merugikan terutama bagi sistem perekonomian bangsa,   maka yang menjadi permasalahan adalah:  bagaimanakah upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah selaku pemegang mandat yang diamanatkan oleh rakyat dalam rangka menanggulangi pencucian uang (Money Laundering) bila mengacu kepada kebijakan kriminal (Criminal Policy).
Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) 
Untuk melaksanakan penegakan hukum (law enforcement) yang benar-benar efektif terutama terhadap masalah money laundering, maka hal ini sangat erat kaitannya dengan bagaimana kebijakan itu harus dibuat dan tidak akan terlepas juga menyangkut apa yang disebut dengan politik hukum pidana.  Politik Hukum Pidana itu adalah bagian dari Politik Hukum pada umumnya, menurut Prof. Sudarto, Politik Hukum Pidana pengertiannya dapat dilihat dari politik hukum pada umumnya. Politik Hukum adalah:
1.        Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
2.        Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.
Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari Politik Hukum maka Politik Hukum Pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.  Oleh sebab itu, dalam melaksanakan Poiitik Hukum Pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna.
                Menurut Marc Ancel, dalam Modern Criminal Science terdiri dari tiga komponen yaitu:
1.        Criminology;
2.        Criminal Law; dan
3.        Penal Policy.
Sedangkan Penal Policy (politik hukum pidana) itu menurutnya adalah suatu ilmu sekaligus seni, yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif termasuk juga peraturan mengenai money laundering dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberikan pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
                A. Mulder berpendapat bahwa Politik Hukum Pidana (Strafrechtspolitiek) ialah garis kebijakan untuk menentukan:………………………………..BACA SELENGKAP-NYA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar