Selasa, 08 Februari 2011

Aspek Budaya (legal culture) Dalam Penegakan Hukum Pidana

Sistem Peradilan Pidana (SPP) sebagai suatu sistem yang terpadu dan terkoordinasi (intergrated criminal justice) diantara sub sistem-sub sistem peradilan pidana.   Menurut  Mardjono Reksodipoetro (1993: 1) bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembanga Pemasyarakatan.  Pada bagian lain Mardjono (1994: 84) mengemukakan bahwa tujuan dari sistem peradilan pidana adalah:
1.     mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
2.     menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
        keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
3.    mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak 
       mengulanginya lagi.
Berdasarkan pada kutipan di atas, dalam sistem peradilan pidana istilah yang dipergunakan adalah “pengendalian” bukan istilah penegakan hukum. 
            Menurut Muladi (1995:1-2), bahwa makna integrated crimal justice adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dapar dibedakan menjadi :
1.  Sinkronisasi struktural (structural syncronization); adalah keserampakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antar-lembaga penegak hukum;
2. Sinkronisasi substansial (substantial syncronization); adalah keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif (perundang-undangan);
3.  Sinkronisasi kultural (cultural syncronization); adalah keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.
            Pemahaman terhadap ketiga kerangka sinkronisasi ini sangatlah penting, mengingat bahwa sistem peradilan pidana merupakan open system (sistem terbuka). Open system ini memiliki pengaruh besar terhadap lingkungan masyarakat dan bidang-bidang kehidupan manusia, terhadap keberhasilan pencapaian tujuannya (jangka pendek resosialisasi,  jangka menengah pencegahan kejahatan dan jangka panjang kesejahteraan sosial).  
            Sebagai suatu sistem yang terpadu dan terkoordinasi dalam menanggulangi kejahatan, sistem peradilan pidana harus dapat dioperasionalisasi-kan secara maksimal dalam wujud “proses peradilan pidana”.  Proses peradilan pidana yang berpijak pada Undang-Undang No.8 tahun 1981 terntang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pada tingkat pelaksanaannya terdiri atas tiga tahapan, yaitu tahap awal proses peradilan pidana (Pra-adjudikasi), tahap sidang pengadilan (Adjudikasi) dan tahap setelah proses persidangan (Purna-Adjudikasi).  Ketiga tahap ini harus saling berhubungan dan saling melengkapi antara yang satu dan yang lain.  Apabila ketiga tahap tersebut tidak berjalan sebagai mana mestinya, maka hal itu akan mengganggu sistem ini secara keseluruhan.            
            Khusus yang menjadi sorotan dalam tulisan ini adalah Tahap pra-adjudikasi atau tahap awal proses peradilan pidana, merupakan suatu tahap yang memiliki peranan penting dalam pelaksanaan proses peradilan pidana.  Hal ini dikarenakan pada tahap inilah, di mana suatu proses peradilan pidana itu akan dimulai, atau dapat dikatakan dalam tahap pra-adjudikasi, merupakan sebagai pintu gerbang dari sistem peradilan pidana.   Pada tahap ini kegiatan penegakan hukum terutama yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum (sub-sistem Kepolisian) akan sering bersentuhan langsung dengan masyarakat yang notabene adalah kumpulan berbagai macam corak tingkah laku manusia.  
            Sebagai langkah awal dari pelaksanaan proses peradilan pidana (pra-adjudikasi) ini,  KUHAP memberikan kewenangan yang cukup besar kepada Polri, yaitu diberikan “peran” (role) berupa “kekuasaan umum menangani kriminal” (general policing authority in criminal matter) di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.  Dalam melaksanakan   kewenangan  tersebut,  Polri  berperan  untuk  melakukan  “kontrol   kriminal”  (crime control) dalam bentuk: “investigasi-penangkapan-penahanan-penggeledahan-penyitaan”. Kontrol kriminal (crime control) sebagaimana dimaksud, tidak lain adalah untuk mempermudah Polri dalam menjalankan penegakan hukum (law enforcement).  
            Selain memberikan kewenangan yang besar dalam proses ini, KUHAP juga sekaligus memberikan pedoman bagi Polri dalam menjalankan kewenangannya dalam batasan-batasan tertentu yang harus dipatuhi.  Pedoman yang diberikan KUHAP bagi aparatur penegak hukum termasuk Polri pada hakikatnya tidak hanya berfungsi sebagai ketentuan yang membatasi ruang gerak kewenangan bagi Polri tetapi sekaligus berfungsi sebagai perlindungan bagi masyarakat pada satu sisi (bagi tersangka) serta bagi aparatur penegak hukum (Polri) pada sisi lain.  Sehingga dengan dipatuhinya KUHAP dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh Polri akan dapat menghilangkan apa yang disebut sebagai “faktor kriminogen” dalam rangka penegakan hukum. Karena In-put yang “salah” akan menghasilkan out-put yang “keliru”, apabila hal ini yang terjadi maka akan menjadikan sistem peradilan pidana yang “sesat” dan “menyesatkan”.
            Sering kita dengar dan kita lihat pemberitaan-pemberitaan baik dimedia cetak maupun elektronik, tentang  kasus-kasus yang sering timbul dalam proses pra-adjudikasi, khsus yang dilakukan oleh sub-sistem Kepolisian.  Sebut saja dimulai dalam kasus salah tangkap di Jombang terhadap Imam Hambali dkk yang di dakwa telah membunuh Asrori yang ternyata pelaku pembunuhan yang sebenarnya adalah Verry Idham Henyansyah alias Ryan.(www.kilasberita.com download 15 Desember 2010). Kasus dugaan salah tangkap terjadi di Polsek Cipondoh, kota Tangerang, Banten, seorang pemuda dipaksa mengaku telah membunuh dan memperkosa seorang pembantu rumah tangga. Selama 2 bulan ia ditahan dan korban selalu diintimidasi dan dianiaya. (www.indosiar.com download: 15 Desember 2010). SURABAYA, TRIBUNNEWS.COM Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Badrodin mengakui, anggotanya melakukan kesalahan dalam kasus penembakan anggota TNI aktif di Mojokerto.  Ada kesalahan prosedur dalam tindakan yang diambil terhadap tersangka pelaku pencurian kabel telepon itu (www.tribunnews.com download 15 Desember 2010).
            Dari serangkaian beberapa contoh kasus tersebut diatas, maka dapat dilihat betapa rawannya kegiatan yang dilakukan sub-sistem Kepolisian  dalam memberikan in-put untuk sub sistem-sub sistem yang lain.  Sehingga apabila terjadi kekeliruan dalam tahap awal ini, maka akan mengakibatkan kesalahan untuk proses selanjutnya apakah itu pada tahap Penuntutan maupun tahap pemeriksaan di Pengadilan.
Teori Penegakan Hukum (law enforcement) dan Teori Sistem Hukum (legal system)
Menurut Joseph Golstein penegakan hukum pidana dapat dibedakan menjadi tiga bagian (dalam Muladi,1995: 16) :
Pertama, Total Enforcement yaitu dimana ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (substantive law of crimes).  Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum termasuk Kepolisian dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana, seperti adanya aturan-aturan tentang penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan.  Selain itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkannya aduan (klacht delicten) sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan.
Setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement, maka muncullah suatu bentuk penegakan hukum pidana yang kedua yaitu Full Enforcement.  Namun dalam ruang lingkup ini-pun para penegak hukum termasuk Polri tidak bisa diharapkan menegakkan hukum secara maksimal karena adanya berbagai keterbatasan, baik dalam bentuk waktu, sarana-prasarana, kualitas sumberdaya manusia, perundang undangan dan sebagainya sehingga mengakibatkan dilakukannya discretions.  Sehingga menurut Joseph Golstein, yang tersisa  adalah Actual Enforcement.
Namun, pelaksanaan Actual Enforcement ini-pun tidak tertutup kemungkinan untuk terjadinya berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum termasuk Kepolisian.  Sebagai contoh misalnya penyimpangan terhadap hak-hak tersangka dalam penangkapan dan penahanan sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP).  Penyimpangan ini dapat dicontohkan dengan memperlakukan tersangka tidak sabagai subyek tetapi sebagai obyek, sehingga dalam proses penyidikan seringkali diterapkannya apa yang disebut oleh Herbert L. Packer dengan Crime Control Model (CCM). Hal ini dikarenakan Crime Control Model didasarkan atas anggapan bahwa penyelenggaraan peradilan pidana adalah semata-mata untuk menindas prilaku kriminal (criminal conduct) dan ini merupakan tujuan utama proses peradilan dalam CCM.  Dengan demikian maka berlakulah apa yang disebut dengan “sarana cepat” dalam rangka pemberantasan kejahatan (John Griffiths, 1970:359).
Terjadinya berbagai pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukan oleh Kepolisian sebagai salah satu aparatur penegak hukum, tidak dapat dilepaskan dari adanya pengaruh  kondisi-kondisi sosial tertentu.  Sebagaimana yang dikemukakan oleh La Patra (1978: 56) dalam bukunya Analizing the Criminal Justice System, bahwa penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem adalah interface, yaitu interaksi, interkoneksi dan interdepedensi sistem peradilan pidana dengan lingkungan yang lebih luas disekitarnya.  Hal ini dapat digambarkan dalam suatu skema interface:  Interaksi, Interkoneksi dan Inter depedensi Sistem Peradilan  Pidana dengan lingkungannya  (sumber: La Patra (1978:56))             
Level I (society) adalah level yang lebih besar merupakan sistem masyarakat dan di dalamnya terdapat level-level yang lebih kecil antara lain: level II (politik, ekonomi, sosial dan budaya). Sedangkan level III merupakan sistem peradilan pidana yang merupakan tempat terjadinya proses penegakan hukum pidana, yang pada hakikatnya terdapat interaksi, interkoneksi dengan level-level lain yang lebih besar sehingga kedudukan level III ini menjadi interdepedensi terhadap level-level lainnya.
Berdasarkan hal tersebut, maka timbulnya pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak asasi tersangka oleh Kepolisian dalam menjalankan penegakan hukum tersebut, tidak terlepas adanya faktor-faktor yang menyebabkannya.  Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman  (dikutip Kadri Husin, 1999:7) menunjukkan tiga aspek di dalam bekerjanya sistem hukum, yaitu;
a.    1).aspek struktural yaitu: aparat penegak hukum dalam melaksanakan penegakan hukum dibatasi tingkat kemampuan atau profesionalitas maupun terbatasnya biaya, sumber daya manusia, sarana dan prasarana. 2).aspek kultural/budaya yaitu : aspek yang muncul pada diri aparat penegak hukum yang disebabkan adanya pengaruh dari aspek nilai dan sikap baik dari dalam organisasi kepolisian sendiri ataupun pengaruh dari lingkungan sekitarnya.  3).aspek substantif yaitu: aspek yang disebabkan adanya kelemahan dalam undang-undang yang ada dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Aspek Kultural atau Budaya Dalam Penegakan Hukum Pidana (Law Enforcement) oleh Sub-Sistem Kepolisian
            Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lawrence M.Friedman yang dikutip oleh (Kadri Husin,1999:7) bahwa penegakan hukum itu sangat dipengaruhi oleh ada-nya 3 aspek tersebut diatas, maka pada bagian ini penulis khusus akan membahas mengenai aspek kultur atau budaya.  Hal ini dirasakan cukup penting sekali untuk diketahui baik oleh pembaca maupun oleh pihak Kepolisian sendiri mengapa dalam proses ini kerap sekali terjadi pelanggaran-pelangaran.  Sehingga kedepan agar semua yang menjadi kelemanan-kelemahan dalam proses ini dapat diperbaiki,  kemudian menggantinya dengan paradigma yang baru sesuai dengan momentum kemandirian lembaga Kepolisian menjadi suatu lembaga yang “bersih” dan “profesional” dalam pengertian tidak hanya individu nya melainkan juga organisasinya.
            mengacu kepada aspek budaya/ legal culture,  bekerjanya suatu sistem hukum dalam masyarakat (law in action), maka tidak akan terlepas adanya pengaruh dari aspek nilai dan sikap, yang memberi pemahaman tentang bekerjanya sistem hukum itu.   Mengacu kepada pendapat yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1981:33)  maka menurut penulis ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi sikap dan nilai para fungsionaris hukum (aparat hukum) termasuklah dalam hal ini Kepolisian  dalam menjalankan kewenanganya, yaitu:
a. Tujuan dan Lembaga sebagai Organisasi
            Setiap organisasi, termasuk  organisasi penegak hukum selalu mempunyai tujuan pokok tertentu, seperti apa yang dijelaskan dalam setiap Undang-Undang yang menjadi dasar Hukum (Payung Hukum) dari masing-masing Fungsionaris Hukum dalam menjalankan kewenangannya. Seperti apa yang dijelaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, yang pada intinya tujuan pokok organisasi Kepolisian adalah untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dalam negeri. Dalam rangka keorganisasian ini, penulis sependapat dengan pendapat yang dikemukakan oleh J.A.A. Van Doorn dan C.J. Lammers (dalam Soerjono Sokanto, 1981:33) yang memberikan batasan, bahwa pengertian organisasi merupakan suatu struktur sosial yang dibentuk atas suatu posisi, yang merupakan suatu pengkoordinasian dalam rangka untuk mencapai tujuan dari organisasi tersebut.   
             Dengan adanya tujuan dari lembaga sebagai oraganisasi tersebut, maka dapat diasumsikan tujuan dari organisasi tersebut akan membawa suatu pengaruh atas sikap tindak dan nilai dari pada onggota organisasi tersebut.   Hal ini dapat penulis contohkan, bahwa setiap anggota Kepolisian, sikap tindak dan nilainya akan sangat dipengaruhi oleh organisasi Kepolisian itu sendiri.    
            Sesuai dengan tujuan dari organisasi Kepolisian tersebut (sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang No.2 Tahun 2002) yang mengharuskan pemberantasan tindak pidana dalam rangka keamanan dan ketertiban masyarakat harus dapat dicapai secara maksimal.  Sebagai suatu contoh misalnya dikemukakan penggunaan bentuk “crime contol model”.  Model ini (CCM) yang diutamakan adalah penanggulangan kejahatan demi kepentingan masyarakat (social defence).  Sehingga dengan model ini sub-sistem Kepolisian sebagai aparat penegak hukum harus berusaha untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka pelaku tindak pidana sebanyak-banyaknya dengan harapan adanya penjatuhan pidana oleh Pengadilan nantinya.  Crime control model ini akan berhasil apabila tidak digangu oleh peraturan-peraturan yang terlalu formal sifatnya, seperti  KUHAP misalnya, yang memberikan batasan kepada Kepolisian dalam bentuk adanya hak-hak tersangka baik dalam proses penangkapan maupun dalam proses penahanan, sehingga disini memunculkan terjadinya peluang-peluang untuk melakukan “diskresi” bahkan tak jarang menimbulkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran.
            Timbulnya penggunaan crime control model, ini tidak terlepas dari adanya pandangan resmi (official perpective), terutama dalam rangka mengejar kepentingan prestise dan efisiensi organisasi Kepolisian.  Kejahatan merupakan ancaman terhadap keamanan dan ketertiban dalam negeri, sehingga pemberantasan kejahatan selain bermanfaat untuk terciptanya keamanan dan ketertiban dalam negeri khususnya dan pada saat yang bersamaan, berguna juga untuk kepentingan prestise dan efisiensi organisasi Kepolisian  itu sendiri.   
            Begitupun sebaliknya, kepentingan prestise dan efisiensi organisasi Kepolisian akan sulit dicapai apabila dalam pelaksanaan tugasnya menerapkan due proses model.  Dengan due proses model ini, Kepolisian dalam hal ini tidak dapat melakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka pelaku tindak pidana sebanyak-banyaknya karena akan dibatasi oleh prinsip-prinsip pembatas yang ada dalam KUHAP.
b. Praduga keteraturan dalam ketatalaksanaan (Presumption of administrative
    regularity)
            Suatu keadaan yang dapat mempengaruhi nilai dan sikap, berawal adanya pola berpikir : bahwa karena petugas Kepolisian berada dalam suatu ikatan ketatalaksanaan yang teratur,  dan rutin, maka kesalahan bertindak adalah hampir tidak mungkin terjadi.  Mengacu kepada pendapat yang dikemukakan oleh Leonard Broom dan Philip Selznick, (dalam Soerjono Soekanto, 1981:34) yang menyatakan bahwa dalam suatu ikatan ketatalaksanaan yang wajar, dapat disimpulkan bahwa kesalahan-kesalahan adalah hal yang luar biasa, dan petugas itu tidak bertindak tanpa alasan yang cukup.  Asumsi dasar ini muncul, dikeranakan adanya sistem yang “telah teratur”, dari organisasi Kepolisian ini, sehingga sangat kecil kemungkinan adanya kesalahan bagi anggota Kepolisian  dalam bertindak.
            Dengan perkataan lain, kesalahan bertindak bagi anggota Kepolisian dalam menjalankan tugasnya adalah suatu hal yang sangat luar biasa sekali. Sehingga dengan adanya praduga keteraturan dalam ketatalak-sanaan ini menyebabkan munculnya suatu keadaan yang disebut sebagai “Praduga Bersalah” (presumption of guilty) di dalam praktek sehari-hari bagi Kepolisian. Misalnya dalam pelaksanaan penangkapan dan penahanan dalam proses pra-adjudikasi, biasanya Polisi akan menduga bahwa orang yang akan ditangkap dan ditahannya itu, telah dianggap sebagai pelaku yang sebenarnya dari  suatu tindak pidana yang dituduhkannya. Sehingga tak jarang dalam penangkapan dan penahanan Polisi tak segan-segan melakukan tindakan yang “sangat represif” atau bahkan dimungkinkannya penggunaan senjata api (penembakan) terhadap tersangka sebagaimana penulis kemukakan pada contoh kasus tersebut di atas.
c. Budaya Patrimonial
            Nilai dan sikap yang dipengaruhi oleh budaya patrimonial ini, membawa kepada nilai dan sikap kepada atasannya.  Sebagai akibat daripada sikap ini,  muncullah suatu tindakan yang sedapat mungkin untuk “menyenangkan atasan” atau yang sehari-harinya dikenal  dengan istilah “Asal Bapak Senang” (ABS).  Sebagai suatu contoh misalnya dalam pelaksanaan penangkapan dan penahanan seseorang.  Seorang Polisi atas perintah atasannya, ia diperintah-kan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap seseorang, walaupun sudah jelas-jelas orang tersebut tidak bersalah.       
            Atau dapat dilihat pada contoh penembakan terhadap seseorang tersangka yang telah ditangkap dan ditahan. Atas perintah atasannya mengharuskan tersangka yang telah ditangkap tadi harus diberi hadiah “timah panas” (ditembak), pada hal sudah jelas-jelas penembakan seperti ini adalah penembakan yang in-prosedural (tidak prosedural).
            Hal ini dapat penulis contohkan pada kasus yang terjadi di Medan (Sumut), Mantan Kapolsek Medan Kota AKP Darwin Ginting terancam sanksi pidana setelah kasus salah tangkap pelaku pembunuhan yang melibatkannya diproses secara pidana. Padahal dua bekas anak buahnya hanya diperiksa secara internal di Satuan Unit P3D Polresta Medan.  Kabid Humas Polda Sumut Kombes Baharudin Djafar menerangkan, pemeriksaan AKP Darwin Ginting telah dilakukan Satuan I Tipidum Dit Reskrim Polda Sumut, Rabu (24/11). Saat ini, kata dia, tim penyidik sedang mendalami hasil pemeriksaan itu untuk kepentingan langkah hukum berikutnya.   Namun, Baharudin tak bisa menjelaskan keterlibatan Reskrim memeriksa AKP Darwin Ginting. Sebab dua mantan anak buah Darwin, Aiptu Chairul Yani dan Brigadir Aulia, hanya diperiksa secara internal. Tapi sedikit digambarkannya, kedua oknum bintara itu hanya menjalankan perintah atasannya. "Sudah jelas penangkapan dan penembakan itu ada instruksinya," jelas Baharudin (25/11/2010).   (www.tribunnews.com download 15 Desember 2010).
d. Status Sosial
            Pemberian status terhadap seseorang di dalam masyarakat akan sangat dipengaruhi pula dengan nilai dan sikap dari orang tersebut. Seseorang yang memiliki status sebagai majikan tentu akan mempengaruhi sikap dan nilai terhadap buruhnya.  Begitu juga seseorang yang berstatus Polisi tentu akan mempengaruhi sikapnya terhadap masyarakat apalagi terhadap tersangka pelaku tindak pidana. Dalam hal ini akan dikemukakan hasil penelitian yang dilakukan oleh H. Brusten (dikutip oleh Soerjono Soekanto et all, 1981:36)  di negeri Belanda (“Socilogisch Aspecten” dalam Tegen Regels) yang memperoleh hasil sebagai berikut:
            Bahawa anggota-anggota organisasi Kepolisian mengidentifikasikan dirinya sebagai anggota kelas menengah (middle class) yang membawahi kelas bawah (lower class).   Sehingga dengan asumsi dari Brusten ini, dapat diketahui mengapa anggota Kepolisian dalam mengemban tugasnya seringkali melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang ? dan memprihatinkan golongan lemah, dan memang aktivitas Kepolisian kebanyakan bergumul dengan golongan lemah (lower class) ini.  
            Hal ini dapat dilihat pada banyak kasus yang ditangani oleh Kepolisian yang  tebang pilih, yang cenderung mengabaikan prinsip equality before the law.   Seperti kasus MINAH alias Ny Sanrudi (55), warga Desa Darmakradenan RT 4 RW 5 Kecamatan Ajibarang, Banyumas mungkin tak pernah membayangkan bagaimana rasanya menjadi tahanan rumah dan harus berurusan dengan aparat penegak hukum. Lantaran mendambakan bisa menanam pohon kakao, buruh tani itu terpaksa mengambil biji kakao di perkebunan PT Rumpun Sari Antan (RSA) di desanya.     Begitu pula dengan kasus pencurian satu buah semangka, di mana kedua tersangka disiksa dan ditahan Polisi selama 2 bulan dan terancam hukuman 5 tahun penjara. (www.infoindonesia.wordpress.com download 15 Desember 2010).  
             Apabila pelaku yang dihadapi adalah golongan lemah atau golongan bawah (lower class) maka tindakan represif tak segan-segan dilakukan, seolah-olah mengabaikan adanya hak-hak tersangka yang seharusnya mereka hormati.   Pertanyaannya bagaimana dengan kasus korupsi ?   menurut hemat penulis kita sudah sama-sama mengetahui dan menilai bagaimana kinerja Kepolisian dalam menangani kasus ini yang notabene pelaku-pelakunya adalah orang-orang yang tergolong pada “high class”.   Menurut ICW (Indonesian Corupption watch)  “Sedikitnya 17 kasus korupsi kelas kakap yang tidak jelas penanganannya dipetieskan meski pihak kepolisian telah menetapkan sejumlah tersangka,” jelasnya. (www.detiknews.com download 15 Desember 2010).  Bahkan dalam kasus Gayus Tambunan menyeret beberapa anggota Kepolisian ke meja hijau di karenakan terindikasi menikmati uang haram...............................baca selengkapnya