Selasa, 18 Mei 2010

"Due Process Of Law"


               Dalam rangka melaksanakan fungsi “penyelidikan” dan “penyidikan”, undang-undang telah memberikan “hak istimewa” atau “hak privilese” kepada Polri untuk melakukan: “memanggil-memeriksa-menangkap-menahan-menggeledah-menyita” terhadap tersangka dan barang yang dianggap berkaitan dengan tindak pidana.  Namun, dalam melaksanakan “hak” dan “kewenangan istimewa” tersebut, harus tetap taat dan tunduk kepada prinsip-prinsip: the right of due process. Setiap tersangka berhak diselidiki dan disidik di atas landasan “sesuai dengan hukum acara” yang ada, tidak boleh dilakukan undue process. Permasalahan ini perlu disinggung, karena masih banyak keluhan yang disuarakan  oleh masyarakat tentang adanya berbagai tata  cara “penyelidikan” dan “penyidikan” yang menyimpang dari ketentuan hukum acara, atau “diskresi” yang dilakukan oleh penyidik.  hal ini sangat bertentangan dengan HAM yang harus ditegakkan dalam tahap pemeriksaan penyelidikan dan penyidikan. Oleh sebab itu, tujuan dikemukakannya persoalan ini, sebagai ajakan untuk meningkatkan “ketaatan” mematuhi penegakan the right of due process of law.
                Hak due process dalam melaksanakan tindakan penegakan hukum, bersumber dari cita-cita “negara hukum” (rechtstaat) yang menjunjung tinggi “supremasi hukum” (the law is supreme), yang menegaskan bahwa dalam penegakan hukum: “kita diperintah oleh hukum” dan “bukan oleh orang” atau "atasan".  Bertitik tolak dari asas ini, Polri dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan “penyidikan”, harus berpatokan dan berpegang pada “ketentuan khusus (special rule) yang diatur dalam “hukum acara pidana” (criminal procedure) dalam hal ini adalah KUHAP (Undang-undang No. 8 Tahun 1981).  Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi “supremasi hukum”, dalam menangani tindak pidana: tidak seorang pun berada dan menempatkan diri di atas hukum, dan hukum harus diterapkan kepada siapa pun berdasar prinsip “perlakuan” dan dengan “cara yang jujur” (fair manner) dan "benar".
                Esensi due process: setiap penegakan dan penerapan hukum pidana harus sesuai dengan “persyaratan konstitusional” serta harus “menaati hukum”. Oleh karena itu, due process tidak “memperbolehkan terjadinya pelanggaran” terhadap suatu bagian ketentuan hukum dengan dalih guna menegakkan bagian hukum yang lain.  Agar konsep dan esensi due process dapat terjamin penegakan dan pelaksanaannya oleh aparat penegak hukum, harus “berpedoman” dan “mengakui” (recognized), “menghormati” (to respect for), dan melindungi (to protect) serta “menjamin” dengan baik “doktrin inkorporasi” (incorporation doctrin), yang memuat berbagai hak, antara lain (sebagian di antaranya telah dirumuskan dalam Bab IV KUHAP) :
1) The right of self incrimination. Tidak seorang pun dapat dipaksa menjadi saksi yang memberatkan dirinya dalam suatu tindak pidana.
1)    “Dilarang mencabut” atau “menghilangkan” (deprive) “hak hidup” (life) “kemerdekaan” (liberty), atau “harta benda” (property) tanpa sesuai dengan ketentuan hukum acara (without due process of law).
2)    Setiap orang harus “terjamin hak terhadap diri” (person), “kediaman, surat-surat” atas pemeriksaan dan penyitaan yang “tidak beralasan”.
3)    “Hak konfrontasi” (the right to confront) dalam bentuk “ pemeriksaan silang”  (cross examine) dengan orang yang menuduh (melaporkan).
4)    “Hak memperoleh pemeriksaan (peradilan)” yang cepat (the right to a speedy trial). Pelanggaran atas hak ini pada tahap penyidikan sering muncul ke permukaan. Ada laporan pengaduan yang tidak pernah ditangani. Pemeriksaan penyidikan tersangka yang tidak jelas ujung pangkalnya. Tidak dihentikan dalam bentuk SP3 tetapi juga tidak dilimpahkan pada Jaksa Penuntut Umum (JPU). Atau pemeriksaan tambahan yang tidak pernah disempurnakan (perkara menjadi “mengantung”).
      Dalam kasus-kasus yang seperti ini, sering menimbulkan benturan kepentingan antara pelapor dan tersangka “Pelapor” atau “korban” merasa dirinya “dizalimi” dan “diabaikan”. Sebaliknya tersangka juga terkatung-katung nasibnya dalam kegelisahan yang tidak menentu.
5)    “Hak perlindungan yang sama” dan “pemeriksaan yang sama dalam hukum” (equal protection and equal treatment of the law). Terutama dalam menangani kasus yang sama (similar case), harus ditegakkan asas perlindungan dan perlakuan yang sama. Memberi perlindungan dan perlakuan yang berbeda adalah tindakan “diskriminatif”
6)    “Hak mendapat bantuan penasihat hukum“ (the right to have assistance of counsil) dalam pembelaan diri. Hak ini merupakan prinsip yang diatur dalam Pasal 56 (1) KUHAP yang berbunyi:
                Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau diancam pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
Apa yang diatur dalam Pasal 56 ini merupakan bagian yang tidak terpisah dari asas presumption of innocence serta berkaitan dengan pengembangan Miranda Rule yang juga telah diadaptasi dan diadopsi dalam KUHAP, seperti:
a.    melarang penyidik melakukan praktek pemaksaan yang kejam untuk memperoleh “pengakuan”  (brutality to coerce confession);
b.  melarang penyidik melakukan intimidasi kejiwaan (psychological intimidation).
                Seiringan dengan larangan dimaksud, kepada tersangka diberikan hak untuk “diperingati hak konstitusionalnya” (warning of his constitutional rights) atau disebut Miranda Warning (yang dikenal di negara bagian Arizona, Amerika Serikat pada kasus “Miranda” pada tahun 1966 merupakan persamaan dari Pasal 56 KUHAP) yang harus disampaikan aparat penegak hukum kepadanya berupa:
-       hak untuk tidak menjawab (a right to remain in silent).
-       hak didampingi (menghadirkan) penasihat hukum (a right to the presense of an attorney or the right to counsil).
Kedua hak ini hanya dapat “dihapus” atau “dikesampingkan” berdasar “kemauan” dan “sukarela” (knowingly and voluntarely) dari tersangka. Kaitan antara kedua “hak” di atas dengan Miranda Warning adalah apabila tersangka secara tegas menyatakan dia “didampingi penasihat hukum” dalam pemeriksaan penyidikan, tersangka dapat mempergunakan the right to remain in silent (hak untuk tidak menjawab) sampai dia didampingi penasihat hukum sesuai dengan Miranda Rule yang diatur dalam Pasal 56 KUHAP, yang bersifat “imperatif”. Mengabaikan ketentuan ini, mengakibatkan: “tuntutan JPU tidak dapat diterima”. Sehubungan dengan semakin gencarnya tuntutan peningkatan HAM dalam penegakan hukum, dan salah satu di antara tuntutan itu berkenaan dengan kualitas penegakan Miranda Rule dan Miranda Principle, sudah selayaknya Polri menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memahami dengan baik aspek-aspek pengertian dan penerapan Miranda Rule secara komprehensif dan Profesional. Masalah penerapan Miranda Rule sampai saat sekarang sangat riskan sekali dalam pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia. Hampir sebagian besar perkara yang termasuk kategori yang disyaratkan Pasal 56 KUHAP, tersangkanya “disidik tanpa didampingi penasihat hukum”.  Sebagai suatu contoh dapat dilihat pada pemeriksaan penyidikan tindak pidana psikotropika.  Pemeriksaan tersangka pada tahap penyidikan tanpa didampingi penasihat hukum seusai dengan asas within sight and within hearing berdasar sistem yang digariskan Pasal 115 KUHAP.   Terjadinya pelanggaran seperti ini, pengadilan masih sering bersikap “toleran” atas alasan “demi melindungi kepentingan umum” (to protect public interest). Dengan mempergunakan landasan: the theory of the priority right (hak siapa yang lebih diutamakan, apakah hak individu terdakwa, dibandingkan dengan hak kepentingan umum). “Hakim” atau “Pengadilan”, sering menutup mata atas pelanggaran Pasal 56 KUHAP yang terjadi pada tahap pemeriksaan penyidikan.  Namun, sikap masa bodoh pengadilan atas pelanggaran tersebut, barangkali tidak dapat dipertahankan lagi. Tuntutan “reformasi hukum” makin deras mendesak agar Pasal 56 atau Miranda Rule ditegakkan dengan “konsisten”. Suara kepedulian (concern) yang makin keras menuntut penegakan ketentuan dimaksud, membuat pengadilan mesti konsen atau peduli untuk menanggapinya. Masalah ini sudah beberapa kali menjadi bahan pembahasan. Arah dan sikap yang akan diambil, cenderung untuk menerapkan Pasal 56 KUHAP secara tegas dan konsisten.  Apabila pada saat yang akan datang pengadilan benar-benar konsisten menerapkan Pasal 56, akan terjadi penyelesaian tindak pidana yang “fatal”. Semua perkara yang dilimpahkan ke pengadilan yang terdakwanya tidak didampingi penasihat hukum pada tahap penyidikan, akan diputus dengan amar: Tuntutan JPU “tidak dapat diterima”.

Minggu, 02 Mei 2010

Kebijakan Kriminal Dalam Tindak Pidana Money Laundering

           Sering kita mendengar dan menyaksikan baik di media masa maupun di media elektronik banyak sekali kegiatan-kegiatan yang dilakukan baik oleh perorangan maupun kelompok yang berhubungan dengan tindak pidana pencucian uang (money laundering) ini.  Masih segar dalam ingatan kita kasus yang menyeret nama Eddy Tansil yang merupakan terpidana korupsi 1,3 triliyun rupiah yang telah diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dan hingga kini masih menjadi buronan karena melarikan diri.  Bahkan sampai saat ini pun Anggoro  Widjojo Direktur PT. Masaro Radiokom yang menjadi tersangka kasus pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan entah dimana rimba-nya.
           Sangat tragis sekali bagi Negara kita, jangankan untuk menghukum terpidana-nya untuk mengembalikan keuangan Negara yang telah dikorup itu-pun tidak mungkin dilakukan.  Negara hanya bisa “gigit jari”, karena ternyata asset yang dikorup tersebut tidak bisa ditemukan kemana rimbanya.  Itulah yang seringkali terjadi pada kasus seperti korupsi, kolusi/penyuapan dan tindak pidana ekonomi lainnya, dimana Negara dirugikan (dalam pengertian luas).  Negara tidak bisa lagi  melacak dimana uang-uang haram yang dihasilkan dari kejahatan tersebut berada, karena pelakunya telah terlebih dahulu menyembuyikannya dengan berbagai cara, salah satunya yaitu melalui proses money laundering (pencucian uang). Pencucian uang (Money Laundering) adalah suatu proses dimana uang-uang yang berasal dari hasil kejahatan kemudian “dicuci” dengan melalui berbagai transaksi yang menyesatkan sehingga jejak pelacakannya menjadi hilang serta sulit untuk ditemukan.
Kejahatan pencucian uang ini sebenarnya sudah sejak lama terjadi, namun istilah money laundering baru muncul ketika Al Capone, salah seorang mafia besar di Amerika Serikat pada tahun 1920-an memulai bisnis Laundromats (tempat cuci otomatis).  Bisnis ini ia lakukan karena sebagai kedok untuk mempercepat proses pencucian uang yang mereka peroleh dari hasil kejahatan seperti penjualan obat-obat terlarang, pemerasan, pelacuran, perjudian dan penyelundupan minuman keras sehingga seolah-olah terlihat sebagai uang yang halal.
Dewasa ini bila ditinjau dari segi aktifitasnya, Money Laundering telah berkembang sangat pesat dengan menggunakan berbagai sarana-prasarana dan batas-batas Negara sebagai pelindungnya, dimana semua  hambatan tersebut dapat diatasi, karena  kecanggihan  teknologi komunikasi salah satu contohnya  adalah melalui  jaringan   internet.   Sehingga tidak mengherankan apabila aparat penegak hukum sangat sulit dalam menjangkau dan menyelesaikan kejahatan ini.  Proses atau modus operandi pencucian uang (money laundering) umumnya bervariasi sesuai dengan tingkat keahlian para pelakunya.  Semakin lihay pelakunya, maka semakin sulit untuk melacak terjadinya praktik money laundering ini.
Secara umum ada tiga tahap yang biasa atau sering dilakukan dalam kejahatan pencucian uang ini yaitu:
1.       Placement (penempatan) adalah suatu upaya penempatan uang hasil kejahatan yang diperoleh tersebut kedalam suatu system jasa perbankan tertentu (ex:bank) sehingga uang tersebut tidak menimbulkan kecurigaan;
2.       Layering (pelapisan) adalah suatu upaya yang dilakukan mentransfer uang hasil kejahatan tersebut kebeberapa rekening tertentu yang bisannya lokasinya berbeda-beda sehingga menyamarkan bahwa uang tersebut adalah hasil kejahatan;
3.       Integration (intergasi) adalah suatu upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari kejahatan yang telah masuk dalam sistem perbankan baik melalui Placement atau-pun Layering sehingga seolah-olah telah menjadi harta kekayaan yang halal.
             Mengingat semakin luasnya teknik-teknik yang dilakukan dalam rangka kejahatan pencucian uang (money laundering) serta dampaknya yang begitu merugikan terutama bagi sistem perekonomian bangsa,   maka yang menjadi permasalahan adalah:  bagaimanakah upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah selaku pemegang mandat yang diamanatkan oleh rakyat dalam rangka menanggulangi pencucian uang (Money Laundering) bila mengacu kepada kebijakan kriminal (Criminal Policy).
Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) 
Untuk melaksanakan penegakan hukum (law enforcement) yang benar-benar efektif terutama terhadap masalah money laundering, maka hal ini sangat erat kaitannya dengan bagaimana kebijakan itu harus dibuat dan tidak akan terlepas juga menyangkut apa yang disebut dengan politik hukum pidana.  Politik Hukum Pidana itu adalah bagian dari Politik Hukum pada umumnya, menurut Prof. Sudarto, Politik Hukum Pidana pengertiannya dapat dilihat dari politik hukum pada umumnya. Politik Hukum adalah:
1.        Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
2.        Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.
Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari Politik Hukum maka Politik Hukum Pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.  Oleh sebab itu, dalam melaksanakan Poiitik Hukum Pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna.
                Menurut Marc Ancel, dalam Modern Criminal Science terdiri dari tiga komponen yaitu:
1.        Criminology;
2.        Criminal Law; dan
3.        Penal Policy.
Sedangkan Penal Policy (politik hukum pidana) itu menurutnya adalah suatu ilmu sekaligus seni, yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif termasuk juga peraturan mengenai money laundering dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberikan pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
                A. Mulder berpendapat bahwa Politik Hukum Pidana (Strafrechtspolitiek) ialah garis kebijakan untuk menentukan:………………………………..BACA SELENGKAP-NYA

Jumat, 02 April 2010

Kriminogenik Dalam Penegakan Hukum

         Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pada hakikatnya penegakan hukum (law enforcement) merupakan suatu sarana yang dapat digunakan dalam rangka menanggulangi suatu kejahatan (pada umum-nya) dan tindak pidana (pada khusus-nya).  Dalam  konteks sistem peradilan pidana, maka proses penegakan hukum pidana terdiri dari tiga tahap pelaksanaan yaitu: Tahap Pra-Adjudikasi (tahap awal proses peradilan pidana), Adjudikasi (tahap proses sidang di pengadilan) dan Purna-Adjudikasi (tahap setelah sidang pengadilan atau setelah vonis hakim di jatuhkan). Namun dalam pembahasan ini, penulis khusus akan menganalisis lebih lanjut mengenai permasalahaan yang sering muncul dalam tahap Pra-Adjudikasi sehingga menjadi faktor kriminogen, sedangkan tahap-tahap selanjutnya (Adjudikasi dan Purna-Adjudikasi) akan penulis analisis pada pokok bahasan selanjutnya.
Tahap pra-adjudikasi atau tahap awal proses peradilan pidana, merupakan suatu tahap yang memiliki peranan sangat penting dan sangat rawan dalam pelaksanaan proses peradilan pidana.  Hal ini dikarenakan pada tahap inilah, di mana suatu proses peradilan pidana itu akan dimulai (start in process),  atau dapat dikatakan dalam tahap pra-adjudikasi ini merupakan sebagai pintu gerbang dari sistem peradilan pidana (in-put).   Pada tahap ini kegiatan penegakan hukum terutama yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum (sub-sistem kepolisian) akan sering bersentuhan langsung dengan masyarakat yang notabene adalah kumpulan berbagai macam corak tingkah laku manusia (masyarakat).   
          Sebagai langkah awal dari pelaksanaan proses peradilan pidana (pra-adjudikasi) ini,  KUHAP memberikan kewenangan yang cukup besar kepada Polri, yaitu diberikan “peran” (role) berupa “kekuasaan umum menangani kriminal” (general policing authority in criminal matter) di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.  Dalam melaksanakan   kewenangan  tersebut,  Polri  berperan  untuk  melakukan  “kontrol   kriminal”  (crime control) dalam bentuk: “investigasi-penangkapan-penahanan-penggeledahan-penyitaan”.  Kontrol kriminal (crime control) sebagaimana dimaksud, tidak lain adalah untuk mempermudah dalam menjalankan penegakan hukum (law enforcement).  
          Selain memberikan kewenangan yang besar dalam proses ini, KUHAP juga sekaligus memberikan pedoman bagi Polri dalam menjalankan kewenangannya dalam batasan-batasan tertentu yang harus dipatuhi.  Pedoman yang diberikan KUHAP bagi aparatur penegak hukum termasuk Polri pada hakikatnya tidak hanya berfungsi sebagai ketentuan yang membatasi ruang gerak kewenangan bagi Polri tetapi sekaligus berfungsi sebagai perlindungan bagi masyarakat pada satu sisi (bagi tersangka) serta bagi aparatur penegak hukum (Polri) pada sisi lain.  Sehingga dengan dipatuhinya KUHAP dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh Polri akan dapat menghilangkan apa yang disebut sebagai faktor “kriminogen” dalam rangka penegakan hukum.
          Faktor kriminogen adalah suatu faktor yang menyebabkan munculnya suatu tindak pidana baru.  Faktor krominogen ini dapat penulis contohkan dalam kasus pelaksanaan penangkapan yang dilakukan dilingkungan masyarakat yang padat atau perkampungan, dimana masyarakat memiliki jiwa kekerabatan yang kuat sehingga kepedulian sosial masyarakat sangat kental.  Penangkapan pada daerah seperti ini apabila tidak dilakukan dengan cermat, koordinasi serta tidak sesuai prosedur akan dapat membahayakan tidak hanya bagi masyarakat sekitar tetapi juga dapat membahayakan anggota Polri dilapangan yang melakukan penangkapan tersebut, seperti terjadinya pengeroyokan dan penganiayaan oleh warga masyarakat terhadap anggota Polisi tersebut.   Pengeroyokan dan penganiayaan inilah yang disebut sebagai faktor kriminogen (muculnya tindak pidana baru), yang muncul pada saat penangkapan yang dilakukan oleh Polisi. 
Contoh lain dapat penulis gambarkan adalah penangkapan terhadap seorang pelaku tindak pidana dimana yang menjadi salah satu target operasi adalah  “oknum anggota TNI” misalnya, maka penangkapan ini seharusnya dilakukan dengan koordinasi antara pihak Kepolisian dan Polisi Militer (PM) terlebih dahulu agar penangkapan tersebut dapat berjalan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan.  Namun dalam banyak kasus penangkapan tersebut menjadi suatu masalah baru, karena seringkali terjadi salah pengertian (salah faham) antara kedua aparat tersebut sehingga terjadilah keributan yang mengarah kepada adu fisik bahkan senjata, dan bahkan menimbulkan jatuhkan korban di antara kedua nya……………….………………...........baca selengkapnya

Rabu, 31 Maret 2010

Penegakan Hukum yang Tepat dan Jujur "harus kah"

Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktek perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) yang dianut di Indonesia. Penggunaan hukum pidana sebagai hal yang wajar dan normal-normal saja, seolah-olah eksistensinya tidak lagi dipersoalkan. Namun apabila ditelaah dan dikaji lebih jauh, sebenarnya banyak sekali persoalan-persoalan yang timbul atau-pun yang belum timbul (fenomena gunung es) yang ada dalam hukum pidana dalam rangka penegakan hukum (law enforcement).

Berbagai macam persoalan-persoalan tersebut dapat sebagian kecil dicontohkan mulai dari :

*)-perundang-undang yang ada baik materiil maupun formil ex: KHUP sendiri sebagai ketentuan yang bersifat umum (lex generalis) atau pun ketentuan-ketentuan lain di luar itu yang di buat secara khusus (lex spesialis), yang masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan sehingga masih dianggap "belum mapan" oleh pakar hukum pidana, karena masih belum dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat, bahkan KUHAP sebagai Undang-Undang Hukum Acara yang digunakan dalam Peradilan Pidana-pun masih dinilai banyak terdapat cela.

**)-aparatur penegak hukum, yang notabene adalah sebagai salah satu komponen penting dalam penegakan hukum-pun masih dianggap belum bekerja secara maksimal dan profesional. Sehingga tak jarang dalam beberapa kasus penegakan hukum pidana dianggap sebagai salah satu faktor "kriminogen" (pencetus timbulnya tindak pidana baru). Keinginan untuk meningkatkan kinerja dan profesional aparatur penegak hukum ini dapat dilihat dari banyak-nya pembicaraan-pembicaraan, seminar, simposium bahkan dalam UU sendiri menginginkan adanya peningkatan yang signifikan dari kinerja dan keprofesionalan aparatur penegak hukum kita (Polisi, Jaksa, Hakim dan Lapas, + Advokat + KPK).

***)-budaya/culture, budaya yang dimaksudkan disini adalah: *budaya aparatur penegak hukum sendiri maupun **budaya masyarakat. Permasalahan-permasalahan yang timbul dalam penegakan hukum tak jarang juga di sebababkan karena pengaruh budaya, ex: *budaya aparatur penegak hukum (legal culture), berbicara mengenai budaya ada banyak sekali teori-teori yang dapat dikemukakan dalam masalah ini, namun dapat diambil sebagai suatu contoh adanya pengaruh "aspek nilai dan sikap" tertentu kepada sistem hukum, sehingga dengan adanya pengaruh dari “aspek nilai dan sikap” itu-lah yang dipahami dan dijalankan oleh mereka dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Dengan ada pengaruh hal tersebut, sangatlah wajar apabila dalam pengembanan tugasnya sehari-hari sangat sulit menerapkan "due proses model" bahkan pada banyak kesempatan tak jarang yang diterapkan adalah "crime control model". *budaya masyarakat yang keliru terhadap hukum, yang cenderung salah menerapkan prinsip kekeluargaan, menginginkan adanya kompromi/ tawar-menawar sehingga terbebas dari jeratan hukum, dan dalam situasi seperti ini yang terjadi adalah penyelewengan terhadap prinsip ekonomi "supply and demand" sehingga melahirkan apa yang disebut dengan "mafia-mafia peradilan".

Dengan memahami sebagian kecil persoalan-persoalan yang dihadapi oleh hukum pidana tsb diatas dalam rangka menanggulangi kejahatan atau tindak pidana, maka paling tidak kita dapat menggunakan hukum pidana yang ada tersebut secara terbatas "limitatif" dan tidak digunakan secara sembarangan (harus sesuai dengan prosedur yang ada). Sebagaimana diketahui bahwa penggunaan hukum pidana secara sembarangan dalam menanggulangi kejahatan atau tindak pidana akan menimbulkan suatu dampak negatif terutama bagi orang yang di masukkan ke dalam proses peradilan pidana tesebut.
Penggunaan hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan atau tindak pidana hendaknya dilakukan sesuai prosedur yang ada, dalam arti kata “tepat dan jujur”.

Penggunaan hukum pidana secara “tepat” saja dalam artian memenuhi “rongga bangunan hukum” tidaklah akan dirasakan sebagian pencari keadilan dirasakan cukup. Bagi mereka penerapan hukum pidana itu harus terlihat secara “kasat” bagaimana hukum itu berproses, sehingga mereka mengetahui dimana hukum itu dimulai dan dimana hukum itu akan berakhir atau berhenti. Penggunaan hukum pidana secara “jujur” saja dalam arti terlihat secara “kasat” tetapi bila tidak memenuhi rongga bangunan hukum, maka akan menjadi suatu penerapan hukum yang asal-asal-an atau sembarangan, atau bahkan mengarah kepada sesuatu yang sesat dan menyesat kan.

Oleh sebab itu, penting sekali penggunaan hukum pidana itu harus dilakukan secara “tepat dan jujur”, tepat memenuhi “rongga bangunan hukum” dan jujur dalam prosesnya. Sehingga dengan penerapan hukum pidana yang sedemikian (taat azas), kemungkinan-kemungkinan untuk timbulnya permasalahan baru dikemudian hari dapat diredam.

Hal ini dapat dicontohkan pada kasus Antasari Azhar misalnya: persoalan untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang bersalah pada kasus tersebut adalah bukan suatu perkara yang mudah, tetapi menjadi suatu yang sangat rumit dan menjelimet. Untuk mengatakan siapa yang benar dan siapa yang salah dalam kasus tersebut adalah hal yang sangat riskan, karena selain pengetahuan kita terhadap hal tersebut terlalu terbatas, bukankah dalam masalah hukum kita tidak boleh berandai-andai tanpa di dasari dengan bukti serta fakta-fakta yang cukup, serta sebelum adanya “putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap” (presumtion of innocent).

Namun menurut pendapat saya tidak lah terlau penting siapa yang benar dan siapa yang salah pada kasus tersebut, yang jauh lebih penting dari semua itu, adalah bagaimana proses penegakan hukum-nya sendiri. Apakah sudah dilakukan secara “tepat dan jujur” ?

Proses penegakan hukum yang dimanksudkan adalah dimulai dari *)proses Pra-Adjudikasi (tahap awal proses peradilan pidana) disini merupakan pintu gerbang dimana proses peradilan pidana akan dimulai. Pada tahap ini merupakan suatu tahap yang sangat “rawan” terjadinya penyimpangan-penyimpangan dikarenakan pada tahap ini aparatur penegak hukum bersentuhan langsung dengan masyarakat pada umumnya. Pada tahap ini akan diawali dengan proses investigasi, penyelidikan dan penyidikan yang merupakan in-put dari proses peradilan pidana itu sendiri. Kita bisa menilai apakah kegiatan yang dilakukan oleh penyelidik dan penyidik sudah tepat dan jujur ? dan hingga proses ini akan ber-metamorfosis menjadi suatu surat dakwaan yang kelak akan digunakan Jaksa Penuntut Umum untuk menuntut terdakwa. Kemudian **)proses Adjudikasi (sidang pengadilan) yang dilakukan oleh majelis hakim dalam kasus tersebut-pun apakah sudah di laksanakan secara tepat dan jujur atau kah tidak. Sehingga pada titik klimaksnya majelis hakim akan menjatuhkan Vonis-nya yang tentu tidak akan terlepas dari pertimbangan hukum dengan memperhatikan fakta-fakta sebenarnya terjadi “dimuka” persidangan. Apakah itu sudah tepat dan jujur ? ataukah tidak, dan hingga nantinya sampai pada ***)proses Purna-Adjudikasi (tahap setelah sidang pengadilan atau tahap pelaksanaan vonis hakim) yang merupakan out-put dari semua proses-peradilan pidana tersebut-pun juga harus tepat dan jujur.

Perlu menjadi sebuah catatan in-put yang "salah" akan menghasilkan suatu out-put yang "keliru", sehingga apabila hal ini yang terjadi maka akan terjadilah proses peradilan yang "sesat" serta "menyesatkan". Menjadikan suatu proses peradilan pidana yang tepat dan jujur adalah sesuatu KEHARUSAN agar apa-pun hasil/out-put proses tersebut akhirnya dapat diterima oleh semua pihak termasuk masyarakat, agar dikemudian hari tidak menimbulkan apa yang disebut dengan “kriminogenik dalam penegakan hukum”.