Senin, 16 Januari 2012

ASPEK HUKUM PIDANA DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA

                     Bekerjanya aparatur pemerintahan secara institusional, merupakan suatu amanah yang diberikan Undang-Undang kepada masing-masing lembaga tersebut untuk dapat melaksanakan semua tugas-tugasnya dengan baik dan benar.  Dalam pengertian bahwa kegiatan pemerintahan harus dilakukan secara bertanggung jawab atau yang dikenal dengan istilah good governance.  Sehingga masyarakat akan dapat merasakan dampak yang nyata dilaksanakannya sistem pemerintahan tersebut, yaitu terciptanya kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.  Sebaliknya, “penyalah gunaan amanah” yang diberikan Undang-Undang kepada masing-masing lembaga tersebut, akan dapat membawa kehancuran sendi-sendi kehidupan bernegara, tidak hanya kehancuran pada sistem pemerintahan pada satu sisi juga bagi masyarakat pada umumnya.
                Hal ini dapat penulis contohkan, diawali terjadinya multi krisis pada akhir tahun 1997 yang ditandai dengan runtuhnya rezim orde baru (Soeharto) (http://www.scribd.com download 26 Mei 2011).  Sehingga sejak saat itu, tuntutan untuk mewujudkan good governance sudah menjadi salah satu isu penting di Indonesia.  Contoh lain dapat penulis kemukakan adalah sebut saja kasus terpidana “Mafia Pajak” Gayus Tambunan (http://www.voanews.com download 26 Mei 2011) yang telah menyeret begitu banyak nama baik dikalangan Pemerintahan, swasta maupun aparat Penegakan Hukum sendiri. Hal ini menunjukkan betapa “bobroknya” sistem penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan selama ini.  Berbagai kebijakan yang telah dibuat selama ini seharusnya dapat dijadikan sebagai benteng untuk membentengi aset-aset Negara, namun oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab di jadikan sebagai alat legalitas untuk memperkaya diri sendiri dan/atau golongan/kelompok.
                Terjadinya berbagai macam krisis tersebut, telah mendorong arus balik yang begitu gencar untuk menuntut perbaikan atau reformasi dalam penyelenggaraan negara termasuk birokrasi pemerintahannya. Salah satu penyebab terjadinya krisis multidimensi yang kita alami saat ini adalah tidak lain karena buruknya atau salah kelola dalam penyelengaraan tata kepemerintahan (poor governance), yang antara lain diindikasikan oleh beberapa masalah, antara lain: (1) dominasi kekuasaan oleh satu pihak terhadap pihak-pihak lainnya, sehingga pengawasan menjadi sulit dilakukan; (2) terjadinya tindakan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme); (3) rendahnya kinerja aparatur termasuk dalam pelayanan kepada publik atau masyarakat di berbagai bidang (http://www.goodgovernance-bappenas.go.id download 6 Juni 2011).
                Selain begitu gencarnya tuntutan untuk dilakukannya perbaikan/ reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka upaya yang dapat digunakan dalam rangka mengatasi “penyalah gunaan amanah” dalam tata pemerintahan yaitu mengoptimalkan penegakan hukum (law enforcement).  Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu fungsi dari hukum adalah sebagai alat “rekayasa masyarakat”.  Hukum dapat menyediakan instrumen yang berguna sebagai pedoman bagi perilaku manusia, dan dimana perlu memaksakannya. Dengan jalan ini, hukum dapat memberikan landasan bagi perubahan perilaku yang diperlukan bagi pengembangan masyarakat yang benar-benar berkelanjutan.  Sehingga penggunaan sarana hukum dalam hal ini upaya penal (hukum pidana) dimungkinkan untuk segera di optimalkan dalam konteks good governace.
Reformasi Birokrasi dan Penyelenggaraan Pemerintahan
                Reformasi Birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaruan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan, terutama menyangkut masalah-masalah krusial yang saat ini di hadapi oleh pemerintah sendiri.   Perubahan mendasar tersebut nampaknya sudah menjadi harga mati demi meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat kepada kinerja pemerintah.   Sejarah Indonesia Merdeka menunjukan, birokrasi yang tidak netral telah turut membawa Indonesia pada jurang kekacauan politik; dan birokrasi yangtidak netral selalu tumbuh bersama dengan kekuatan dan kepentingan politik atau golongan tertentu, selalu terjebak dalam godaan KKN, dan akhirnya juga membawa negara kita pada kehancuran ekonomi. Hal semacam itu telah terjadi pada setiap “rezim pemerintahan”; dengan akibat dan dampak yang serupa berupa kelemahan bangunan kelembagaan hukum, dan kehancuran kehidupan ekonomi, politik, dan sosial.
                Berbagai fenomena di atas mengungkapkan perlunya pelaksanaan reformasi birokrasi secara menyeluruh dan sistimatis sebagai bagian dari pembangunan Sistem Administrasi Negara Kesatuan, Republik Indonesia.  Dengan demikian, tuntutan akan reformasi birokrasi mengandung makna  perlunya langkah-Iangkah pendayagunaan bukan saja (a) terhadap sistem birokrasi dan birokrat, tetapi juga (b) langkah-Iangkah serupa pada berbagai institusi dan individu di luar birokrasi, baik publik maupun private, termasuk lembaga-lembaga negara dan berbagai lembaga, yang berkembang dalam masyarakat, beserta segenap personnelnya; dan (c) semuanya itu dilakukan secara sinergis dengan semangat “mengemban perjuangan yang diamanatkan konstitusi”, dan mengindahkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (Mustopadijaja AR, 2003:11). Adapun  aspek-aspek krusial yang harus segera diadakan reformasi dalam sistem birokrasi dan pemerintahan adalah sebagai berikut :
  1. Kelembagaan (organisasi)
  2. Ketatalaksanaan (business process)
  3. sumber daya manusia aparatur
                Berbagai permasalahan atau hambatan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan atau diperkirakan tidak berjalan dengan baik, harus ditata ulang atau diperbarui. Reformasi Birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan kata lain, Reformasi Birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dalam rangka pembangunan nasional. Selain itu, dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat. Oleh karena itu, harus segera diambil langkah langkah yang bersifat mendasar, komprehensif dan sistemik, sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat tercapai dengan efektif dan efisien.       Reformasi di sini merupakan proses pembaruan yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, sehingga tidak termasuk upaya dan/atau tindakan yang bersifat radikal dan revolusioner. Disadari sepenuhnya, kondisi birokrasi pemerintahan saat ini masih belum seperti yang dicita-citakan, yang antara lain diindikasikan dengan :
  1. praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) masih berlangsung hingga saat ini;
  2. tingkat kualitas pelayanan publik yang belum mampu memenuhi harapan publik;
  3. tingkat efisiensi, efektivitas dan produktivitas dari birokrasi pemerintahan belum Optimal;
  4. tingkat transparansi dan akuntabilitas birokrasi pemerintahan yang masih rendah;
  5. tingkat disiplin dan etos kerja pegawai yang masih rendah;
  6. tingkat efektifitas pengawasan fungsional dan pengawasan internal dari birokrasi pemerintahan belum dapat berjalan secara optimal;
Kondisi birokrasi sebagaimana tersebut diatas semakin memperkuat tekad untuk mempercepat proses Reformasi Birokrasi dan Pemerintahan, di lembaga-lembaga pemerintahan pada umumnya serta di lembaga penegakan hukum pada khususnya serta lembaga-lembaga keuangan dan pelayanan publik.
Good Governance
                Kata ‘good’ pada good-governance bermakna: (Pipin Hanapiah, 2007:2) dapat berarti Berorientasi pada kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara, atau; Keberdayaan masyarakat dan swasta atau; Pemerintahan yang bekerja sesuai dengan hukum-positif Negara atau; Pemerintahan yang produktif, efektif, dan efisien. Sementara ‘governance’-nya bermakna: penyelenggaraan pemerintahan atau; aktivitas pemerintahan melalui:  pengaturan publik, fasilitasi publik dan pelayanan publik.  Sehingga dengan demikian good governance dapat di artikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang baik  yang  terkandung substansi nilai-nilai yaitu:
(a)   bagaimana pemerintah memimpin negara dengan bersih
(b)   bagaimana masyarakat mengatur dirinya sendiri secara mandiri
(c)   bagaimana pemerintah dan masyarakat menyelenggarakan pemerintahan secara            bertanggungjawab.
                Untuk dapat memahami apa sebenarnya good governance itu, maka paling tidak  ada beberapa prinsip-prinsip pokok yang perlu dipahami, baik oleh pemerintah maupun oleh seluruh masyarakat (stakeholder) sehingga dapat di jadikan sebagai tolok ukur kinerja suatu pemerintah.  Adapun Prinsip-prinsip tersebut meliputi (dalam Koesnadi Hardjasoemantri, 2003:2):
a.       Partisipasi masyarakat: semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kepastian untuk berpartisipasi secara konstruktif, dalam konteks pembangunan nasional.
b.     Tegaknya supremasi hukum: kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu (equality before the law), termasuk di dalamnya adalah penegakan hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
c.     Transparasi: transparansi dibangun atas dasar informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintah, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau oleh segenap lapisan masyarakat. Sehingga kinerja pemerintah dapat diketahui tingkat keberhasilan atau-pun kegagalannya.
d.     Peduli dan stakeholder: lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintah harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan, dengan tetap memperhatikan mutu pelayanan itu sendiri (pelayanan prima).
e.     Berorientas pada consensus: tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu consensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur yang pro-rakyat.
f.      Kesetaraan: semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
g.     Efektifitas dan efisiensi: proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin demi kesejahteraan masyarakat.
h.     Akuntabilitas: para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat bertanggungjawab, baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan baik secara formal dan moral.
i.      Visi strategis: para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu, mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.  Sehingga apa yang diinginkan oleh seluruh lapisan masyarakat dapat benar-benar terwujud.
                Good governace hanya bermakna bila keberadaannya ditopang oleh lembaga-lembaga yang melibatkan kepentingan publik.  Ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good governance, yaitu (Sofian Effendi, 2005:2):  Pemerintah (the state), Civil Society (masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil), dan Pasar atau dunia usaha.  Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang setara dan sinerjik. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti, Good governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas.               
Fungasi Hukum Pidana dalam Tata Pemerintahan
                Dalam karyanya yang terkenal yaitu “De Ligibus“ Cicero mengatakan bahwa  “Ubi Societas Ibi ius”, “dimana ada masyarakat disana pasti ada hukum”.  Dalam lingkungan masyarakat seperti apapun pasti ada hukum dengan corak dan bentuk yang sesuai dengan tingkat peradaban masyarakat tersebut. Thimasef juga mengatakan dalam masyarakat yang primitip pun pasti ada hukum.  Van Apeldoorn (dalam Achmad Sanusi, 1977:28) juga pernah menulis “Recht is over de gehele wereld; overall waar een samenleving van mensen Is” artinya “hukum terdapat di seluruh dunia selagi ada kehidupan masyarakat manusia”.  Hukum berfungsi sebagai pedoman untuk setiap orang dalam bertingkah laku. Hukum bisa dikatakan sebagai rule of conduct for men behavior in a society serta merupakan the normative of the state and its citizen. Sebagai sebuah sistem, hukum dapat berfungsi sebagai control social (as a tool of social control), sebagai sarana penyelesaian konflik (dispute settlement) dan untuk memperbaharui masyarakat.
                Roscoe Pound (di Kutip oleh Saut P. Panjaitan, 1998:130) secara komprehensif mengatakan bahwa hukum berfungsi memenuhi berbagai kepentingan yaitu kepentingan individu (individual interest), kepentingan penyelenggara Negara (public interest) dan kepentingan masyarakat (social interest). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum berfungsi sebagai sarana kepentingan penyelenggara kekeuasaan Negara atau pemerintah (power instrument).  Berbagai kepentingan masyarakat yang sudah diatur oleh hukum, secara ideal seharusnya tidak terjadi lagi ketidak adilan, perampasan hak atau perbuatan sewenang-wenang, baik oleh individu terlebih-lebih oleh Negara.  Tatanan kehidupan masyarakat sejatinya-pun tidak akan terganggu, tetapi ternyata dorongan untuk melakukan kejahatan sudah ada sejak penciptaan manusia di bumi.
                Pelanggaran terhadap norma hukum tersebut berakibat keseimbangan dalam masyarakat terganggu dan pemulihan kondisi masyarakat harus dilakukan melalui perangkat hukum berupa sanksi (pidana) dalam pelanggaran hukum publik dan sanksi dalam bidang hukum lainnya. Sanksi pidana dalam hukum pidana merupakan salah satu cara untuk menanggulangi kejahatan, dan peran sanksi pidana dalam menanggulangi kejahatan nampaknya tidak diragukan lagi. Hal ini dapat di lihat dari praktek penggunaan hukum pidana selama ini, sehingga keberadaannya masih sangat dibutuhkan.  Termasuk dimungkinkan juga untuk dapat diterapkan dalam bidang tata pemerintahan, dalam rangka untuk meredam prilaku yang menyimpang dari fungsionaris pemerintahan.
Definisi Hukum Pidana
Sebelum penulis menjelaskan aspek hukum pidana dalam tata pemerintahan, maka ada baiknya penulis terlebih dahulu menjelaskan apa hukum pidana itu.   Definisi Hukum Pidana menurut beberapa ahli adalah (dalam Teguh Prasetyo, 2010:4-9) antara lain :
1.       Pompe, yang menyatakan bahwa hukum pidana adalah: keseluruhan aturan ketentuan hukum
         mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.
2.       Van Apeldoorn, menyeatakan bahwa Hukum Pidana dibedakan dari diberikan arti :
        Hukum Pidana materiil yang menunjuk pada perbuatan pidana dan yang oleh sebab perbuatan itu      dapat dipidana, dimana perbuatan pidana itu mempunyai dua bagian, yaitu :
a.       Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau sikap yang bertentangan dengan hukum pidana positif, sehingga bersifat melawan hukum yang menyebabkan tuntutan hukum dengan ancaman pidana atas pelanggaranya.
b.       Bagian subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk kepada pelaku untuk dipertanggung jawabkan menurut hukum.
        Sedangkan hukum pidana formil yang mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil dapat             ditegakan.
3.       D. Hazewinkel Suringa, dalam bukunya membagi hukum pidana dalam dua arti (dalam Adami              Chazawi, 2002: 9) yaitu:
a.       Objektif (ius poenale), yang meliputi:
1)       Perintah dan larangan yang pelanggaranya diancam dengan sansi pidana oleh badan yang berhak.
2)       Ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat digunakan, apabila norma itu dilanggar, yang dinamakan Hukum Panitensier.
b.       Subjektif (ius puniendi), yaitu: hak Negara menurut hukum untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Pidana adalah Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang atau diharuskan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membawa akibat diterapkannya hukuman (pidana) bagi mereka yang melakukan (positif) atau tidak melakukan perbuatan dimaksud (negative).
Perbuatan Pidana
                Perbuatan pidana dikenal dengan beberapa istilah seperti tindak pidana, peristiwa pidana, dan delict. Dimaksud dengan perbuatan pidana ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana.  Sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno (1983:22) menyatakan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap barang siapa melanggar larangan tersebut.  Perbuatan itu harus pula dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.  
                Sementara itu Loebby Loqman (tanpa tahun:13) menyatakan bahwa suatu tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a). perbuatan manusia baik aktif maupun pasif; b). perbuatan itu dilarang dan diancam dengan undang-undang; c). perbuatan itu melawan hukum; d). perbuatan itu dapat dipersalahkan dan e). pelakunya dapat dipertanggungjawabkan.    Sehingga dengan demikian bahwa suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana apabila memenuhi unsur obyektif dan unsur subyektif.
·         Unsur-unsur obyektif artinya adalah: unsur-unsur yang melekat pada perbuatan dapat berupa :
-. Perbuatan manusia contoh: mengambil
-. Suatu akibat perbuatan contoh: menghilangkan nyawa orang lain
-. Keadaan (omstandigheidn) contoh: merusak kesusilaan
·         Unsur-unsur subyektif artinya adalah: unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku (subyektif) tindak pidana, dapat berupa :
-. Salah (schuld) baik kesengajaan (opzet) maupun kelalaian (culpa)
-. Keadaan jiwa yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya (toerekeningvatbaarheid);
-. Predikat, contoh: PNS, Pejabat, ibu, dsb
Dalam persidangan pengadilan tindak pidana, maka kedua unsur tersebut harus dibuktikan, dan bagaimana bila unsur tersebut tidak dapat dibuktikan maka, sebagaimana menurut  Prof. Moeljatno keadaannya adalah sbb:
-          Bila unsur obyektif tidak dapat dibuktikan, maka keputusannya terdakwa harus “dibebaskan” (vrijspraak);
-          Bila unsur subyektif tidak dapat dibuktikan, maka keputusannya terdakwa “dilepaskan dari tuntutan hukum” (onslag van alle rechtsvervolging)
Ajaran Prof. Moeljatno ini biarpun terkenal namun tidak lah diikuti oleh seluruh hakim di Indonesia, selain dari ajaran Moeljatno itu tentang arti perbuatan pidana serta sebab-akibatnya, hakim-hakim di Indonesia juga banyak yang mengikuti ajaran Prof.Vrij di Negeri Belanda yang membedakan antara : “elementen” (unsur-unsur) dan “bestandelen” (bagian-bagian) dari tindak pidana.
-          Bestandelen adalah bagian-bagian dari perbuatan yang dirumuskan Undang-Undang.
-          Elementen adalah syarat bagi dilarangnya perbuatan dan diancam    dengan pidana yang terdiri dari: 
a.       Kemampuan bertanggung jawab sipelaku;
b.       Sifat buruk perbuatan itu;
c.        Perbuatan itu melawan hukum.
Tanpa dapat dibuktikannya bestandelen maka putusan hakim akan membebaskan (vrijspraak) terdakwa,  sedangkan tanpa elementen putusan akan melepaskan dari tuntutan (onslag van alle vervolging).
                Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat di ketahui bahwa syarat yang harus dipenuhi (baik perbuatan yang memenuhi unsur obyektif ataupun subyektif yang dipersyaratkan) dalam suatu peristiwa pidana ialah:
1.        Harus ada suatu perbuatan. Dimana memang benar-benar ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Kegiatan tersebut terlihat sebagai suatu perbuatan tertentu yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa hukum. Perbuatan tersebut harus bertentangan dengan hukum;
2.        Perbuatan tersebut harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum. Perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu. Pelakunya memang benar-benar telah berbuat seperti yang terjadi dan terhadapnya wajib mempertanggung jawabkan akibat yang timbul dari perbuatan itu. Berkenaan dengan syarat ini hendaknya dapat dibedakan bahwa ada suatu perbuatan yang tidak dapat disalahkan dan terhadap pelakunya tidak perlu mempertanggung jawabkan.
3.        Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan. Perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang itu harus dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang disalahkan oleh ketentuan hukum.
4.        Harus tersedia ancaman hukumannya. Yaitu harus ada ketentuan yang mengatur tentang larangan atau keharusan dalam suatu perbuatan tertentu dan ketentuan tersebut memuat sanksi ancaman hukumannya. Ancaman hukuman tersebut dinyatakan secara tegas maksimal hukuman yang harus dilaksanakan oleh para pelakunya.  Jadi dengan demikian maka untuk dapat dinyatakan bahwa suatu perbuatan dalam tata pemerintahan tersebut merupakan tindak pidana dan dapat diancam dengan sanksi pidana maka harus memenuhi unsur-unsur dalam tindak pidana.
Alasan-Alasan Penghapus Pidana
                Dalam Hukum Pidana dikenal adanya alasan-alasan penghapus pidana. Penghapusan pidana adalah hapusnya suatu pidana dikarenakan alasan-alasan yang dibenarkan oleh  Perundang-Undangan yang berlaku. Adapun alasan-alasan penghapusan pidana dalam hukum pidana ada dua macam (Schaffineiser, Et all, 1995:57)  yaitu :
1.       Alasan Pemaaf
        Dasar penghapus berdasar alasan pemaaf melihat dari sisi pelakunya (subyektif). Pada alasan pemaaf, maka suatu tindakan tetap melawan hukum, tetapi terdapat hal-hal khusus yang menjadikan si pelaku tidak dapat dipertanggung jawabkan, atau dengan kata lain menghapuskan kesalahannya. Sebagaimana diatur dalam KUHP yaitu:
a.       Tidak dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 44 KUHP)
b.       Daya paksa (overmacht) (Pasal 48 KUHP)
c.        Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dikarenakan kegoncangan jiwa yang hebat                 (noodweer exces) (Pasal 49 ayat (2) KUHP)
d.       Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang (Pasal 51            ayat (1) KUHP)
Penghapusan pidana berdasarkan alasan pemaaf menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dianggap pidana dan dimaafkan jika ia melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang.   Dalam konteks tata pemerintahan, maka sepanjang tindakan yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan tersebut adalah melaksanakan perintah jabatan sebagaimana yang diberikan oleh penguasa yang berwenang.
2.       Alasan Pembenar
        Dasar penghapus berdasakan alasan pembenar melihat dari sisi perbuatannya (obyektif). Pada alasan pembenar, suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya, sehingga menjadi legal/diperbolehkan dan pelakunya tidak dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana. Sebagai- mana diatur dalam KUHP yaitu:
a.       Menjalankan peraturan undang-undang (Pasal 50 KUHP)
  1. Pembelaan terpaksa dari serangan atau ancaman yang melawan hukum, yang dilakukan untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain (noodweer) (Pasal 49 ayat (1) KUHP)
        Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka suatu perbuatan pidana tidak dapat dihukum sepanjang terdapat alasan pembenar dan pemaaf.  Dan sebaliknya, perbuatan itu dapat di hukum apabila tidak terdapat unsur pemaaf dan pembenarnya, termasuklah perbuatan tersebut dilakukan oleh fungsionaris pemerintahan.
Tindakan Pemerintah di Negara Hukum 
                Dalam melakukan aktifitasnya, pemerintah dapat melakukan dua macam tindakan, (E. Utrecht, 1960:63) yatu: tindakan biasa (feitelijkehandelingen) dan tindakan hukum (rechtshandelingen).  Dalam kajian hukum, yang terpenting untuk dikemukakan adalah tindakan dalam katagori kedua, yaitu: rechtshandelingen (tindakan hukum). Tindakan hukum pemerintahan adalah tindakan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan. Tindakan pemerintahan memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut :
•       Perbuatan itu dilakukan oleh aparat Pemerintah dalam kedudukannya sebagai Penguasa maupun      sebagai             alat     perlengkapan pemerintahan (bestuurs-organen) dengan prakarsa dan tanggung        jawab     sendiri;
•       Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;
•       Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum    
         administrasi;
•       Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.
                Dalam negara hukum (rechtstaat) setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum), karena dalam negara yang berdasarkan hukum (rule of law) terdapat prinsip wetmatigheid van bestuur atau asas legalitas.   Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang sah diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala  macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya.  Asas legalitas  menurut Sjachran Basah, berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang sifat hakikatnya konstitutif.
                Meskipun demikian, tidak selalu setiap tindakan pemerintahan tersedia peraturan peraundang-undangan yang mengaturnya. Dapat terjadi, dalam kondisi tertentu terutama ketika pemerintah harus bertindak cepat untuk menyelesaikan persoalan konkret dalam masyarakat, peraturan perundang-undangannya belum tersedia. Dalam kondisi seperti ini, kepada pemerintah diberikan kebebasan bertindak (discresionare power) yaitu melalui freies Ermessen (Lihat dalam ST. Marbun dan M.Mahfud MD, 2000:46), yang diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.
               Berbicara mengenai sebuah kebijakan dan sebuah keputusan yang dilakukan oleh seorang pejabat (fungsionaris pemerintah) yang mengeluarkan hal tersebut, berdasarkan Ilmu Hukum maka akan masuk ke dalam ranah hukum administrasi negara.  Dimana hukum administrasi negara ini tentu harus dibedakan dengan hukum pidana yang mengatur tentang sanksi pidana atas perbuatan terhadap kejahatan dalam jabatan sebagaimana yang telah penulis kemukakan tersebut di atas, serta sebagaimana diatur dalam Buku II Bab XXVIII Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
                Dalam hukum administrasi negara tidak dikenal sanksi pidana, karena dalam lingkup administrasi Negara mengenal adanya sanksi tersendiri yang dikenal dalam hukum administrasi negara, antara lain yaitu:
  1. Teguran baik lisan maupun tertulis;
  2. Penurunan pangkat;
  3. Demosi dan pembebasan dari jabatan; atau
  4. Diberhentikan dengan tidak hormat dari suatu jabatan tertentu.
Dengan demikian pada prinsipnya kesalahan dalam pengambilan kebijakan atau keputusan seorang pejabat pemerintah tidak dapat dipidana.  Sepanjang keputusan tersebut murni kebijakan dan tidak ada keuntungan baik material maupun non-material yang diperoleh baik oleh pejabat yang memberi kebijakan dan pihak-pihak yang memperoleh kebijakan tersebut,  serta memenuhi alasan-alasan penghapus pidana (alasan pembenar dan pemaaf).   Namun, terdapat pengecualian terhadap beberapa kebijakan yang dilakukan oleh seorang pejabat, sehingga pengambil kebijakan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana, di antaranya adalah dikarenakan hal-hal sebagai berikut :
........baca selengkapnya....................................



Selasa, 08 Februari 2011

Aspek Budaya (legal culture) Dalam Penegakan Hukum Pidana

Sistem Peradilan Pidana (SPP) sebagai suatu sistem yang terpadu dan terkoordinasi (intergrated criminal justice) diantara sub sistem-sub sistem peradilan pidana.   Menurut  Mardjono Reksodipoetro (1993: 1) bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembanga Pemasyarakatan.  Pada bagian lain Mardjono (1994: 84) mengemukakan bahwa tujuan dari sistem peradilan pidana adalah:
1.     mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
2.     menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
        keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
3.    mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak 
       mengulanginya lagi.
Berdasarkan pada kutipan di atas, dalam sistem peradilan pidana istilah yang dipergunakan adalah “pengendalian” bukan istilah penegakan hukum. 
            Menurut Muladi (1995:1-2), bahwa makna integrated crimal justice adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dapar dibedakan menjadi :
1.  Sinkronisasi struktural (structural syncronization); adalah keserampakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antar-lembaga penegak hukum;
2. Sinkronisasi substansial (substantial syncronization); adalah keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif (perundang-undangan);
3.  Sinkronisasi kultural (cultural syncronization); adalah keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.
            Pemahaman terhadap ketiga kerangka sinkronisasi ini sangatlah penting, mengingat bahwa sistem peradilan pidana merupakan open system (sistem terbuka). Open system ini memiliki pengaruh besar terhadap lingkungan masyarakat dan bidang-bidang kehidupan manusia, terhadap keberhasilan pencapaian tujuannya (jangka pendek resosialisasi,  jangka menengah pencegahan kejahatan dan jangka panjang kesejahteraan sosial).  
            Sebagai suatu sistem yang terpadu dan terkoordinasi dalam menanggulangi kejahatan, sistem peradilan pidana harus dapat dioperasionalisasi-kan secara maksimal dalam wujud “proses peradilan pidana”.  Proses peradilan pidana yang berpijak pada Undang-Undang No.8 tahun 1981 terntang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pada tingkat pelaksanaannya terdiri atas tiga tahapan, yaitu tahap awal proses peradilan pidana (Pra-adjudikasi), tahap sidang pengadilan (Adjudikasi) dan tahap setelah proses persidangan (Purna-Adjudikasi).  Ketiga tahap ini harus saling berhubungan dan saling melengkapi antara yang satu dan yang lain.  Apabila ketiga tahap tersebut tidak berjalan sebagai mana mestinya, maka hal itu akan mengganggu sistem ini secara keseluruhan.            
            Khusus yang menjadi sorotan dalam tulisan ini adalah Tahap pra-adjudikasi atau tahap awal proses peradilan pidana, merupakan suatu tahap yang memiliki peranan penting dalam pelaksanaan proses peradilan pidana.  Hal ini dikarenakan pada tahap inilah, di mana suatu proses peradilan pidana itu akan dimulai, atau dapat dikatakan dalam tahap pra-adjudikasi, merupakan sebagai pintu gerbang dari sistem peradilan pidana.   Pada tahap ini kegiatan penegakan hukum terutama yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum (sub-sistem Kepolisian) akan sering bersentuhan langsung dengan masyarakat yang notabene adalah kumpulan berbagai macam corak tingkah laku manusia.  
            Sebagai langkah awal dari pelaksanaan proses peradilan pidana (pra-adjudikasi) ini,  KUHAP memberikan kewenangan yang cukup besar kepada Polri, yaitu diberikan “peran” (role) berupa “kekuasaan umum menangani kriminal” (general policing authority in criminal matter) di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.  Dalam melaksanakan   kewenangan  tersebut,  Polri  berperan  untuk  melakukan  “kontrol   kriminal”  (crime control) dalam bentuk: “investigasi-penangkapan-penahanan-penggeledahan-penyitaan”. Kontrol kriminal (crime control) sebagaimana dimaksud, tidak lain adalah untuk mempermudah Polri dalam menjalankan penegakan hukum (law enforcement).  
            Selain memberikan kewenangan yang besar dalam proses ini, KUHAP juga sekaligus memberikan pedoman bagi Polri dalam menjalankan kewenangannya dalam batasan-batasan tertentu yang harus dipatuhi.  Pedoman yang diberikan KUHAP bagi aparatur penegak hukum termasuk Polri pada hakikatnya tidak hanya berfungsi sebagai ketentuan yang membatasi ruang gerak kewenangan bagi Polri tetapi sekaligus berfungsi sebagai perlindungan bagi masyarakat pada satu sisi (bagi tersangka) serta bagi aparatur penegak hukum (Polri) pada sisi lain.  Sehingga dengan dipatuhinya KUHAP dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh Polri akan dapat menghilangkan apa yang disebut sebagai “faktor kriminogen” dalam rangka penegakan hukum. Karena In-put yang “salah” akan menghasilkan out-put yang “keliru”, apabila hal ini yang terjadi maka akan menjadikan sistem peradilan pidana yang “sesat” dan “menyesatkan”.
            Sering kita dengar dan kita lihat pemberitaan-pemberitaan baik dimedia cetak maupun elektronik, tentang  kasus-kasus yang sering timbul dalam proses pra-adjudikasi, khsus yang dilakukan oleh sub-sistem Kepolisian.  Sebut saja dimulai dalam kasus salah tangkap di Jombang terhadap Imam Hambali dkk yang di dakwa telah membunuh Asrori yang ternyata pelaku pembunuhan yang sebenarnya adalah Verry Idham Henyansyah alias Ryan.(www.kilasberita.com download 15 Desember 2010). Kasus dugaan salah tangkap terjadi di Polsek Cipondoh, kota Tangerang, Banten, seorang pemuda dipaksa mengaku telah membunuh dan memperkosa seorang pembantu rumah tangga. Selama 2 bulan ia ditahan dan korban selalu diintimidasi dan dianiaya. (www.indosiar.com download: 15 Desember 2010). SURABAYA, TRIBUNNEWS.COM Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Badrodin mengakui, anggotanya melakukan kesalahan dalam kasus penembakan anggota TNI aktif di Mojokerto.  Ada kesalahan prosedur dalam tindakan yang diambil terhadap tersangka pelaku pencurian kabel telepon itu (www.tribunnews.com download 15 Desember 2010).
            Dari serangkaian beberapa contoh kasus tersebut diatas, maka dapat dilihat betapa rawannya kegiatan yang dilakukan sub-sistem Kepolisian  dalam memberikan in-put untuk sub sistem-sub sistem yang lain.  Sehingga apabila terjadi kekeliruan dalam tahap awal ini, maka akan mengakibatkan kesalahan untuk proses selanjutnya apakah itu pada tahap Penuntutan maupun tahap pemeriksaan di Pengadilan.
Teori Penegakan Hukum (law enforcement) dan Teori Sistem Hukum (legal system)
Menurut Joseph Golstein penegakan hukum pidana dapat dibedakan menjadi tiga bagian (dalam Muladi,1995: 16) :
Pertama, Total Enforcement yaitu dimana ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (substantive law of crimes).  Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum termasuk Kepolisian dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana, seperti adanya aturan-aturan tentang penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan.  Selain itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkannya aduan (klacht delicten) sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan.
Setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement, maka muncullah suatu bentuk penegakan hukum pidana yang kedua yaitu Full Enforcement.  Namun dalam ruang lingkup ini-pun para penegak hukum termasuk Polri tidak bisa diharapkan menegakkan hukum secara maksimal karena adanya berbagai keterbatasan, baik dalam bentuk waktu, sarana-prasarana, kualitas sumberdaya manusia, perundang undangan dan sebagainya sehingga mengakibatkan dilakukannya discretions.  Sehingga menurut Joseph Golstein, yang tersisa  adalah Actual Enforcement.
Namun, pelaksanaan Actual Enforcement ini-pun tidak tertutup kemungkinan untuk terjadinya berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum termasuk Kepolisian.  Sebagai contoh misalnya penyimpangan terhadap hak-hak tersangka dalam penangkapan dan penahanan sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP).  Penyimpangan ini dapat dicontohkan dengan memperlakukan tersangka tidak sabagai subyek tetapi sebagai obyek, sehingga dalam proses penyidikan seringkali diterapkannya apa yang disebut oleh Herbert L. Packer dengan Crime Control Model (CCM). Hal ini dikarenakan Crime Control Model didasarkan atas anggapan bahwa penyelenggaraan peradilan pidana adalah semata-mata untuk menindas prilaku kriminal (criminal conduct) dan ini merupakan tujuan utama proses peradilan dalam CCM.  Dengan demikian maka berlakulah apa yang disebut dengan “sarana cepat” dalam rangka pemberantasan kejahatan (John Griffiths, 1970:359).
Terjadinya berbagai pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukan oleh Kepolisian sebagai salah satu aparatur penegak hukum, tidak dapat dilepaskan dari adanya pengaruh  kondisi-kondisi sosial tertentu.  Sebagaimana yang dikemukakan oleh La Patra (1978: 56) dalam bukunya Analizing the Criminal Justice System, bahwa penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem adalah interface, yaitu interaksi, interkoneksi dan interdepedensi sistem peradilan pidana dengan lingkungan yang lebih luas disekitarnya.  Hal ini dapat digambarkan dalam suatu skema interface:  Interaksi, Interkoneksi dan Inter depedensi Sistem Peradilan  Pidana dengan lingkungannya  (sumber: La Patra (1978:56))             
Level I (society) adalah level yang lebih besar merupakan sistem masyarakat dan di dalamnya terdapat level-level yang lebih kecil antara lain: level II (politik, ekonomi, sosial dan budaya). Sedangkan level III merupakan sistem peradilan pidana yang merupakan tempat terjadinya proses penegakan hukum pidana, yang pada hakikatnya terdapat interaksi, interkoneksi dengan level-level lain yang lebih besar sehingga kedudukan level III ini menjadi interdepedensi terhadap level-level lainnya.
Berdasarkan hal tersebut, maka timbulnya pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak asasi tersangka oleh Kepolisian dalam menjalankan penegakan hukum tersebut, tidak terlepas adanya faktor-faktor yang menyebabkannya.  Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman  (dikutip Kadri Husin, 1999:7) menunjukkan tiga aspek di dalam bekerjanya sistem hukum, yaitu;
a.    1).aspek struktural yaitu: aparat penegak hukum dalam melaksanakan penegakan hukum dibatasi tingkat kemampuan atau profesionalitas maupun terbatasnya biaya, sumber daya manusia, sarana dan prasarana. 2).aspek kultural/budaya yaitu : aspek yang muncul pada diri aparat penegak hukum yang disebabkan adanya pengaruh dari aspek nilai dan sikap baik dari dalam organisasi kepolisian sendiri ataupun pengaruh dari lingkungan sekitarnya.  3).aspek substantif yaitu: aspek yang disebabkan adanya kelemahan dalam undang-undang yang ada dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Aspek Kultural atau Budaya Dalam Penegakan Hukum Pidana (Law Enforcement) oleh Sub-Sistem Kepolisian
            Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lawrence M.Friedman yang dikutip oleh (Kadri Husin,1999:7) bahwa penegakan hukum itu sangat dipengaruhi oleh ada-nya 3 aspek tersebut diatas, maka pada bagian ini penulis khusus akan membahas mengenai aspek kultur atau budaya.  Hal ini dirasakan cukup penting sekali untuk diketahui baik oleh pembaca maupun oleh pihak Kepolisian sendiri mengapa dalam proses ini kerap sekali terjadi pelanggaran-pelangaran.  Sehingga kedepan agar semua yang menjadi kelemanan-kelemahan dalam proses ini dapat diperbaiki,  kemudian menggantinya dengan paradigma yang baru sesuai dengan momentum kemandirian lembaga Kepolisian menjadi suatu lembaga yang “bersih” dan “profesional” dalam pengertian tidak hanya individu nya melainkan juga organisasinya.
            mengacu kepada aspek budaya/ legal culture,  bekerjanya suatu sistem hukum dalam masyarakat (law in action), maka tidak akan terlepas adanya pengaruh dari aspek nilai dan sikap, yang memberi pemahaman tentang bekerjanya sistem hukum itu.   Mengacu kepada pendapat yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1981:33)  maka menurut penulis ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi sikap dan nilai para fungsionaris hukum (aparat hukum) termasuklah dalam hal ini Kepolisian  dalam menjalankan kewenanganya, yaitu:
a. Tujuan dan Lembaga sebagai Organisasi
            Setiap organisasi, termasuk  organisasi penegak hukum selalu mempunyai tujuan pokok tertentu, seperti apa yang dijelaskan dalam setiap Undang-Undang yang menjadi dasar Hukum (Payung Hukum) dari masing-masing Fungsionaris Hukum dalam menjalankan kewenangannya. Seperti apa yang dijelaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, yang pada intinya tujuan pokok organisasi Kepolisian adalah untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dalam negeri. Dalam rangka keorganisasian ini, penulis sependapat dengan pendapat yang dikemukakan oleh J.A.A. Van Doorn dan C.J. Lammers (dalam Soerjono Sokanto, 1981:33) yang memberikan batasan, bahwa pengertian organisasi merupakan suatu struktur sosial yang dibentuk atas suatu posisi, yang merupakan suatu pengkoordinasian dalam rangka untuk mencapai tujuan dari organisasi tersebut.   
             Dengan adanya tujuan dari lembaga sebagai oraganisasi tersebut, maka dapat diasumsikan tujuan dari organisasi tersebut akan membawa suatu pengaruh atas sikap tindak dan nilai dari pada onggota organisasi tersebut.   Hal ini dapat penulis contohkan, bahwa setiap anggota Kepolisian, sikap tindak dan nilainya akan sangat dipengaruhi oleh organisasi Kepolisian itu sendiri.    
            Sesuai dengan tujuan dari organisasi Kepolisian tersebut (sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang No.2 Tahun 2002) yang mengharuskan pemberantasan tindak pidana dalam rangka keamanan dan ketertiban masyarakat harus dapat dicapai secara maksimal.  Sebagai suatu contoh misalnya dikemukakan penggunaan bentuk “crime contol model”.  Model ini (CCM) yang diutamakan adalah penanggulangan kejahatan demi kepentingan masyarakat (social defence).  Sehingga dengan model ini sub-sistem Kepolisian sebagai aparat penegak hukum harus berusaha untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka pelaku tindak pidana sebanyak-banyaknya dengan harapan adanya penjatuhan pidana oleh Pengadilan nantinya.  Crime control model ini akan berhasil apabila tidak digangu oleh peraturan-peraturan yang terlalu formal sifatnya, seperti  KUHAP misalnya, yang memberikan batasan kepada Kepolisian dalam bentuk adanya hak-hak tersangka baik dalam proses penangkapan maupun dalam proses penahanan, sehingga disini memunculkan terjadinya peluang-peluang untuk melakukan “diskresi” bahkan tak jarang menimbulkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran.
            Timbulnya penggunaan crime control model, ini tidak terlepas dari adanya pandangan resmi (official perpective), terutama dalam rangka mengejar kepentingan prestise dan efisiensi organisasi Kepolisian.  Kejahatan merupakan ancaman terhadap keamanan dan ketertiban dalam negeri, sehingga pemberantasan kejahatan selain bermanfaat untuk terciptanya keamanan dan ketertiban dalam negeri khususnya dan pada saat yang bersamaan, berguna juga untuk kepentingan prestise dan efisiensi organisasi Kepolisian  itu sendiri.   
            Begitupun sebaliknya, kepentingan prestise dan efisiensi organisasi Kepolisian akan sulit dicapai apabila dalam pelaksanaan tugasnya menerapkan due proses model.  Dengan due proses model ini, Kepolisian dalam hal ini tidak dapat melakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka pelaku tindak pidana sebanyak-banyaknya karena akan dibatasi oleh prinsip-prinsip pembatas yang ada dalam KUHAP.
b. Praduga keteraturan dalam ketatalaksanaan (Presumption of administrative
    regularity)
            Suatu keadaan yang dapat mempengaruhi nilai dan sikap, berawal adanya pola berpikir : bahwa karena petugas Kepolisian berada dalam suatu ikatan ketatalaksanaan yang teratur,  dan rutin, maka kesalahan bertindak adalah hampir tidak mungkin terjadi.  Mengacu kepada pendapat yang dikemukakan oleh Leonard Broom dan Philip Selznick, (dalam Soerjono Soekanto, 1981:34) yang menyatakan bahwa dalam suatu ikatan ketatalaksanaan yang wajar, dapat disimpulkan bahwa kesalahan-kesalahan adalah hal yang luar biasa, dan petugas itu tidak bertindak tanpa alasan yang cukup.  Asumsi dasar ini muncul, dikeranakan adanya sistem yang “telah teratur”, dari organisasi Kepolisian ini, sehingga sangat kecil kemungkinan adanya kesalahan bagi anggota Kepolisian  dalam bertindak.
            Dengan perkataan lain, kesalahan bertindak bagi anggota Kepolisian dalam menjalankan tugasnya adalah suatu hal yang sangat luar biasa sekali. Sehingga dengan adanya praduga keteraturan dalam ketatalak-sanaan ini menyebabkan munculnya suatu keadaan yang disebut sebagai “Praduga Bersalah” (presumption of guilty) di dalam praktek sehari-hari bagi Kepolisian. Misalnya dalam pelaksanaan penangkapan dan penahanan dalam proses pra-adjudikasi, biasanya Polisi akan menduga bahwa orang yang akan ditangkap dan ditahannya itu, telah dianggap sebagai pelaku yang sebenarnya dari  suatu tindak pidana yang dituduhkannya. Sehingga tak jarang dalam penangkapan dan penahanan Polisi tak segan-segan melakukan tindakan yang “sangat represif” atau bahkan dimungkinkannya penggunaan senjata api (penembakan) terhadap tersangka sebagaimana penulis kemukakan pada contoh kasus tersebut di atas.
c. Budaya Patrimonial
            Nilai dan sikap yang dipengaruhi oleh budaya patrimonial ini, membawa kepada nilai dan sikap kepada atasannya.  Sebagai akibat daripada sikap ini,  muncullah suatu tindakan yang sedapat mungkin untuk “menyenangkan atasan” atau yang sehari-harinya dikenal  dengan istilah “Asal Bapak Senang” (ABS).  Sebagai suatu contoh misalnya dalam pelaksanaan penangkapan dan penahanan seseorang.  Seorang Polisi atas perintah atasannya, ia diperintah-kan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap seseorang, walaupun sudah jelas-jelas orang tersebut tidak bersalah.       
            Atau dapat dilihat pada contoh penembakan terhadap seseorang tersangka yang telah ditangkap dan ditahan. Atas perintah atasannya mengharuskan tersangka yang telah ditangkap tadi harus diberi hadiah “timah panas” (ditembak), pada hal sudah jelas-jelas penembakan seperti ini adalah penembakan yang in-prosedural (tidak prosedural).
            Hal ini dapat penulis contohkan pada kasus yang terjadi di Medan (Sumut), Mantan Kapolsek Medan Kota AKP Darwin Ginting terancam sanksi pidana setelah kasus salah tangkap pelaku pembunuhan yang melibatkannya diproses secara pidana. Padahal dua bekas anak buahnya hanya diperiksa secara internal di Satuan Unit P3D Polresta Medan.  Kabid Humas Polda Sumut Kombes Baharudin Djafar menerangkan, pemeriksaan AKP Darwin Ginting telah dilakukan Satuan I Tipidum Dit Reskrim Polda Sumut, Rabu (24/11). Saat ini, kata dia, tim penyidik sedang mendalami hasil pemeriksaan itu untuk kepentingan langkah hukum berikutnya.   Namun, Baharudin tak bisa menjelaskan keterlibatan Reskrim memeriksa AKP Darwin Ginting. Sebab dua mantan anak buah Darwin, Aiptu Chairul Yani dan Brigadir Aulia, hanya diperiksa secara internal. Tapi sedikit digambarkannya, kedua oknum bintara itu hanya menjalankan perintah atasannya. "Sudah jelas penangkapan dan penembakan itu ada instruksinya," jelas Baharudin (25/11/2010).   (www.tribunnews.com download 15 Desember 2010).
d. Status Sosial
            Pemberian status terhadap seseorang di dalam masyarakat akan sangat dipengaruhi pula dengan nilai dan sikap dari orang tersebut. Seseorang yang memiliki status sebagai majikan tentu akan mempengaruhi sikap dan nilai terhadap buruhnya.  Begitu juga seseorang yang berstatus Polisi tentu akan mempengaruhi sikapnya terhadap masyarakat apalagi terhadap tersangka pelaku tindak pidana. Dalam hal ini akan dikemukakan hasil penelitian yang dilakukan oleh H. Brusten (dikutip oleh Soerjono Soekanto et all, 1981:36)  di negeri Belanda (“Socilogisch Aspecten” dalam Tegen Regels) yang memperoleh hasil sebagai berikut:
            Bahawa anggota-anggota organisasi Kepolisian mengidentifikasikan dirinya sebagai anggota kelas menengah (middle class) yang membawahi kelas bawah (lower class).   Sehingga dengan asumsi dari Brusten ini, dapat diketahui mengapa anggota Kepolisian dalam mengemban tugasnya seringkali melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang ? dan memprihatinkan golongan lemah, dan memang aktivitas Kepolisian kebanyakan bergumul dengan golongan lemah (lower class) ini.  
            Hal ini dapat dilihat pada banyak kasus yang ditangani oleh Kepolisian yang  tebang pilih, yang cenderung mengabaikan prinsip equality before the law.   Seperti kasus MINAH alias Ny Sanrudi (55), warga Desa Darmakradenan RT 4 RW 5 Kecamatan Ajibarang, Banyumas mungkin tak pernah membayangkan bagaimana rasanya menjadi tahanan rumah dan harus berurusan dengan aparat penegak hukum. Lantaran mendambakan bisa menanam pohon kakao, buruh tani itu terpaksa mengambil biji kakao di perkebunan PT Rumpun Sari Antan (RSA) di desanya.     Begitu pula dengan kasus pencurian satu buah semangka, di mana kedua tersangka disiksa dan ditahan Polisi selama 2 bulan dan terancam hukuman 5 tahun penjara. (www.infoindonesia.wordpress.com download 15 Desember 2010).  
             Apabila pelaku yang dihadapi adalah golongan lemah atau golongan bawah (lower class) maka tindakan represif tak segan-segan dilakukan, seolah-olah mengabaikan adanya hak-hak tersangka yang seharusnya mereka hormati.   Pertanyaannya bagaimana dengan kasus korupsi ?   menurut hemat penulis kita sudah sama-sama mengetahui dan menilai bagaimana kinerja Kepolisian dalam menangani kasus ini yang notabene pelaku-pelakunya adalah orang-orang yang tergolong pada “high class”.   Menurut ICW (Indonesian Corupption watch)  “Sedikitnya 17 kasus korupsi kelas kakap yang tidak jelas penanganannya dipetieskan meski pihak kepolisian telah menetapkan sejumlah tersangka,” jelasnya. (www.detiknews.com download 15 Desember 2010).  Bahkan dalam kasus Gayus Tambunan menyeret beberapa anggota Kepolisian ke meja hijau di karenakan terindikasi menikmati uang haram...............................baca selengkapnya