Jumat, 02 April 2010

Kriminogenik Dalam Penegakan Hukum

         Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pada hakikatnya penegakan hukum (law enforcement) merupakan suatu sarana yang dapat digunakan dalam rangka menanggulangi suatu kejahatan (pada umum-nya) dan tindak pidana (pada khusus-nya).  Dalam  konteks sistem peradilan pidana, maka proses penegakan hukum pidana terdiri dari tiga tahap pelaksanaan yaitu: Tahap Pra-Adjudikasi (tahap awal proses peradilan pidana), Adjudikasi (tahap proses sidang di pengadilan) dan Purna-Adjudikasi (tahap setelah sidang pengadilan atau setelah vonis hakim di jatuhkan). Namun dalam pembahasan ini, penulis khusus akan menganalisis lebih lanjut mengenai permasalahaan yang sering muncul dalam tahap Pra-Adjudikasi sehingga menjadi faktor kriminogen, sedangkan tahap-tahap selanjutnya (Adjudikasi dan Purna-Adjudikasi) akan penulis analisis pada pokok bahasan selanjutnya.
Tahap pra-adjudikasi atau tahap awal proses peradilan pidana, merupakan suatu tahap yang memiliki peranan sangat penting dan sangat rawan dalam pelaksanaan proses peradilan pidana.  Hal ini dikarenakan pada tahap inilah, di mana suatu proses peradilan pidana itu akan dimulai (start in process),  atau dapat dikatakan dalam tahap pra-adjudikasi ini merupakan sebagai pintu gerbang dari sistem peradilan pidana (in-put).   Pada tahap ini kegiatan penegakan hukum terutama yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum (sub-sistem kepolisian) akan sering bersentuhan langsung dengan masyarakat yang notabene adalah kumpulan berbagai macam corak tingkah laku manusia (masyarakat).   
          Sebagai langkah awal dari pelaksanaan proses peradilan pidana (pra-adjudikasi) ini,  KUHAP memberikan kewenangan yang cukup besar kepada Polri, yaitu diberikan “peran” (role) berupa “kekuasaan umum menangani kriminal” (general policing authority in criminal matter) di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.  Dalam melaksanakan   kewenangan  tersebut,  Polri  berperan  untuk  melakukan  “kontrol   kriminal”  (crime control) dalam bentuk: “investigasi-penangkapan-penahanan-penggeledahan-penyitaan”.  Kontrol kriminal (crime control) sebagaimana dimaksud, tidak lain adalah untuk mempermudah dalam menjalankan penegakan hukum (law enforcement).  
          Selain memberikan kewenangan yang besar dalam proses ini, KUHAP juga sekaligus memberikan pedoman bagi Polri dalam menjalankan kewenangannya dalam batasan-batasan tertentu yang harus dipatuhi.  Pedoman yang diberikan KUHAP bagi aparatur penegak hukum termasuk Polri pada hakikatnya tidak hanya berfungsi sebagai ketentuan yang membatasi ruang gerak kewenangan bagi Polri tetapi sekaligus berfungsi sebagai perlindungan bagi masyarakat pada satu sisi (bagi tersangka) serta bagi aparatur penegak hukum (Polri) pada sisi lain.  Sehingga dengan dipatuhinya KUHAP dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh Polri akan dapat menghilangkan apa yang disebut sebagai faktor “kriminogen” dalam rangka penegakan hukum.
          Faktor kriminogen adalah suatu faktor yang menyebabkan munculnya suatu tindak pidana baru.  Faktor krominogen ini dapat penulis contohkan dalam kasus pelaksanaan penangkapan yang dilakukan dilingkungan masyarakat yang padat atau perkampungan, dimana masyarakat memiliki jiwa kekerabatan yang kuat sehingga kepedulian sosial masyarakat sangat kental.  Penangkapan pada daerah seperti ini apabila tidak dilakukan dengan cermat, koordinasi serta tidak sesuai prosedur akan dapat membahayakan tidak hanya bagi masyarakat sekitar tetapi juga dapat membahayakan anggota Polri dilapangan yang melakukan penangkapan tersebut, seperti terjadinya pengeroyokan dan penganiayaan oleh warga masyarakat terhadap anggota Polisi tersebut.   Pengeroyokan dan penganiayaan inilah yang disebut sebagai faktor kriminogen (muculnya tindak pidana baru), yang muncul pada saat penangkapan yang dilakukan oleh Polisi. 
Contoh lain dapat penulis gambarkan adalah penangkapan terhadap seorang pelaku tindak pidana dimana yang menjadi salah satu target operasi adalah  “oknum anggota TNI” misalnya, maka penangkapan ini seharusnya dilakukan dengan koordinasi antara pihak Kepolisian dan Polisi Militer (PM) terlebih dahulu agar penangkapan tersebut dapat berjalan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan.  Namun dalam banyak kasus penangkapan tersebut menjadi suatu masalah baru, karena seringkali terjadi salah pengertian (salah faham) antara kedua aparat tersebut sehingga terjadilah keributan yang mengarah kepada adu fisik bahkan senjata, dan bahkan menimbulkan jatuhkan korban di antara kedua nya……………….………………...........baca selengkapnya