Rabu, 31 Maret 2010

Penegakan Hukum yang Tepat dan Jujur "harus kah"

Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktek perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) yang dianut di Indonesia. Penggunaan hukum pidana sebagai hal yang wajar dan normal-normal saja, seolah-olah eksistensinya tidak lagi dipersoalkan. Namun apabila ditelaah dan dikaji lebih jauh, sebenarnya banyak sekali persoalan-persoalan yang timbul atau-pun yang belum timbul (fenomena gunung es) yang ada dalam hukum pidana dalam rangka penegakan hukum (law enforcement).

Berbagai macam persoalan-persoalan tersebut dapat sebagian kecil dicontohkan mulai dari :

*)-perundang-undang yang ada baik materiil maupun formil ex: KHUP sendiri sebagai ketentuan yang bersifat umum (lex generalis) atau pun ketentuan-ketentuan lain di luar itu yang di buat secara khusus (lex spesialis), yang masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan sehingga masih dianggap "belum mapan" oleh pakar hukum pidana, karena masih belum dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat, bahkan KUHAP sebagai Undang-Undang Hukum Acara yang digunakan dalam Peradilan Pidana-pun masih dinilai banyak terdapat cela.

**)-aparatur penegak hukum, yang notabene adalah sebagai salah satu komponen penting dalam penegakan hukum-pun masih dianggap belum bekerja secara maksimal dan profesional. Sehingga tak jarang dalam beberapa kasus penegakan hukum pidana dianggap sebagai salah satu faktor "kriminogen" (pencetus timbulnya tindak pidana baru). Keinginan untuk meningkatkan kinerja dan profesional aparatur penegak hukum ini dapat dilihat dari banyak-nya pembicaraan-pembicaraan, seminar, simposium bahkan dalam UU sendiri menginginkan adanya peningkatan yang signifikan dari kinerja dan keprofesionalan aparatur penegak hukum kita (Polisi, Jaksa, Hakim dan Lapas, + Advokat + KPK).

***)-budaya/culture, budaya yang dimaksudkan disini adalah: *budaya aparatur penegak hukum sendiri maupun **budaya masyarakat. Permasalahan-permasalahan yang timbul dalam penegakan hukum tak jarang juga di sebababkan karena pengaruh budaya, ex: *budaya aparatur penegak hukum (legal culture), berbicara mengenai budaya ada banyak sekali teori-teori yang dapat dikemukakan dalam masalah ini, namun dapat diambil sebagai suatu contoh adanya pengaruh "aspek nilai dan sikap" tertentu kepada sistem hukum, sehingga dengan adanya pengaruh dari “aspek nilai dan sikap” itu-lah yang dipahami dan dijalankan oleh mereka dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Dengan ada pengaruh hal tersebut, sangatlah wajar apabila dalam pengembanan tugasnya sehari-hari sangat sulit menerapkan "due proses model" bahkan pada banyak kesempatan tak jarang yang diterapkan adalah "crime control model". *budaya masyarakat yang keliru terhadap hukum, yang cenderung salah menerapkan prinsip kekeluargaan, menginginkan adanya kompromi/ tawar-menawar sehingga terbebas dari jeratan hukum, dan dalam situasi seperti ini yang terjadi adalah penyelewengan terhadap prinsip ekonomi "supply and demand" sehingga melahirkan apa yang disebut dengan "mafia-mafia peradilan".

Dengan memahami sebagian kecil persoalan-persoalan yang dihadapi oleh hukum pidana tsb diatas dalam rangka menanggulangi kejahatan atau tindak pidana, maka paling tidak kita dapat menggunakan hukum pidana yang ada tersebut secara terbatas "limitatif" dan tidak digunakan secara sembarangan (harus sesuai dengan prosedur yang ada). Sebagaimana diketahui bahwa penggunaan hukum pidana secara sembarangan dalam menanggulangi kejahatan atau tindak pidana akan menimbulkan suatu dampak negatif terutama bagi orang yang di masukkan ke dalam proses peradilan pidana tesebut.
Penggunaan hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan atau tindak pidana hendaknya dilakukan sesuai prosedur yang ada, dalam arti kata “tepat dan jujur”.

Penggunaan hukum pidana secara “tepat” saja dalam artian memenuhi “rongga bangunan hukum” tidaklah akan dirasakan sebagian pencari keadilan dirasakan cukup. Bagi mereka penerapan hukum pidana itu harus terlihat secara “kasat” bagaimana hukum itu berproses, sehingga mereka mengetahui dimana hukum itu dimulai dan dimana hukum itu akan berakhir atau berhenti. Penggunaan hukum pidana secara “jujur” saja dalam arti terlihat secara “kasat” tetapi bila tidak memenuhi rongga bangunan hukum, maka akan menjadi suatu penerapan hukum yang asal-asal-an atau sembarangan, atau bahkan mengarah kepada sesuatu yang sesat dan menyesat kan.

Oleh sebab itu, penting sekali penggunaan hukum pidana itu harus dilakukan secara “tepat dan jujur”, tepat memenuhi “rongga bangunan hukum” dan jujur dalam prosesnya. Sehingga dengan penerapan hukum pidana yang sedemikian (taat azas), kemungkinan-kemungkinan untuk timbulnya permasalahan baru dikemudian hari dapat diredam.

Hal ini dapat dicontohkan pada kasus Antasari Azhar misalnya: persoalan untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang bersalah pada kasus tersebut adalah bukan suatu perkara yang mudah, tetapi menjadi suatu yang sangat rumit dan menjelimet. Untuk mengatakan siapa yang benar dan siapa yang salah dalam kasus tersebut adalah hal yang sangat riskan, karena selain pengetahuan kita terhadap hal tersebut terlalu terbatas, bukankah dalam masalah hukum kita tidak boleh berandai-andai tanpa di dasari dengan bukti serta fakta-fakta yang cukup, serta sebelum adanya “putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap” (presumtion of innocent).

Namun menurut pendapat saya tidak lah terlau penting siapa yang benar dan siapa yang salah pada kasus tersebut, yang jauh lebih penting dari semua itu, adalah bagaimana proses penegakan hukum-nya sendiri. Apakah sudah dilakukan secara “tepat dan jujur” ?

Proses penegakan hukum yang dimanksudkan adalah dimulai dari *)proses Pra-Adjudikasi (tahap awal proses peradilan pidana) disini merupakan pintu gerbang dimana proses peradilan pidana akan dimulai. Pada tahap ini merupakan suatu tahap yang sangat “rawan” terjadinya penyimpangan-penyimpangan dikarenakan pada tahap ini aparatur penegak hukum bersentuhan langsung dengan masyarakat pada umumnya. Pada tahap ini akan diawali dengan proses investigasi, penyelidikan dan penyidikan yang merupakan in-put dari proses peradilan pidana itu sendiri. Kita bisa menilai apakah kegiatan yang dilakukan oleh penyelidik dan penyidik sudah tepat dan jujur ? dan hingga proses ini akan ber-metamorfosis menjadi suatu surat dakwaan yang kelak akan digunakan Jaksa Penuntut Umum untuk menuntut terdakwa. Kemudian **)proses Adjudikasi (sidang pengadilan) yang dilakukan oleh majelis hakim dalam kasus tersebut-pun apakah sudah di laksanakan secara tepat dan jujur atau kah tidak. Sehingga pada titik klimaksnya majelis hakim akan menjatuhkan Vonis-nya yang tentu tidak akan terlepas dari pertimbangan hukum dengan memperhatikan fakta-fakta sebenarnya terjadi “dimuka” persidangan. Apakah itu sudah tepat dan jujur ? ataukah tidak, dan hingga nantinya sampai pada ***)proses Purna-Adjudikasi (tahap setelah sidang pengadilan atau tahap pelaksanaan vonis hakim) yang merupakan out-put dari semua proses-peradilan pidana tersebut-pun juga harus tepat dan jujur.

Perlu menjadi sebuah catatan in-put yang "salah" akan menghasilkan suatu out-put yang "keliru", sehingga apabila hal ini yang terjadi maka akan terjadilah proses peradilan yang "sesat" serta "menyesatkan". Menjadikan suatu proses peradilan pidana yang tepat dan jujur adalah sesuatu KEHARUSAN agar apa-pun hasil/out-put proses tersebut akhirnya dapat diterima oleh semua pihak termasuk masyarakat, agar dikemudian hari tidak menimbulkan apa yang disebut dengan “kriminogenik dalam penegakan hukum”.